Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar

saya sedang keluar

(Sapardi Djoko Damono)

Maryam

Terlalu banyak hal di dunia yang diputuskan oleh manusia tanpa melibatkan Tuhan. Beberapa orang dengan sadar memilih untuk begitu, beberapa karena terpaksa.

Kita bisa melihat bahwa tokoh dalam film pendek ini, Maryam, pergi ke gereja karena terpaksa.

Maryam, biasa dipanggil Iyam, bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga. Pada malam Natal, majikannya pergi dengan membawa koper. Ia ditinggal di rumah, menemani adik sang majikan yang mengalami perbedaan perkembangan kejiwaan. Sang adik ini, seorang laki-laki kira-kira berusia 30-an, memaksa untuk diantar ke gereja ikut misa Natal. Maryam yang memakai jilbab ini pun tak dapat menolak. Berangkatlah ia menemani adik sang majikan ke gereja, ikut mendengar khotbah misa Natal dan bernyanyi lagu rohani.

Permainan makna pun dimulai. Sutradara Sidi Saleh memang suka bermain-main di wilayah ini. Film sebelumnya berjudul Fitri, juga seputar hari raya dan maknanya bagi orang-orang yang menjalaninya. Maryam juga asyik bermain-main dengan simbol-simbol relijiusitas seperti ini. Lihat saja judul film ini. Maryam adalah Bahasa Arab untuk perawan Maria, ibunda Yesus Kristus, tapi di Indonesia, nama Maryam bisa saja nama seorang muslimah, tanpa perlu disoal sama sekali.

Dengan lihai, Sidi memperlihatkan keasingan dan ketidaknyamanan Maryam yang salah tempat itu. Jilbabnya jadi perkara, yang segera bisa ia atasi, tapi tidak dengan hatinya. Sepanjang misa berlangsung, wajah resahnya bercerita amat banyak. Tentang pribadi yang sedang merasa di persimpangan: antara keimanan di satu sisi dan kepatuhan pada majikan di sisi lain.

Benarkah soalnya adalah kepatuhan seorang pembantu rumah tangga pada majikannya? Soal ini amat menarik bagi saya, tapi itu akan dibahas belakangan.

Soal persimpangan relijiusitas antara keimanan dan hubungan sosial seperti ini salah satu soal paling menarik dibicarakan di Indonesia. Film Indonesia, semisal ? (Tanda Tanya) dan Cinta Tapi Beda yang keluar dari sentuhan tangan Hanung Bramantyo, membicarakan hal seperti itu habis-habisan. Premis kedua film panjang ini dan Maryam sebenarnya sama: sulit sekali, bahkan mustahil, menempatkan keimanan untuk steril dari hubungan sosial yang menuntut manusia Indonesia untuk berbesar hati merelakan sebagian perwujudan keimanan mereka. Namun Maryam dan kedua film yang saya sebut tadi memperlakukan tema ini dengan amat berbeda.

Maryam adalah contoh perlakuan halus terhadap tema amat sensitif itu. Penyuntingan pada Maryam amat berhati-hati menempatkan hati manusia sebagai arena pertarungan antar simbol-simbol agama. Sisipan-sisipan semisal patung Yesus yang ditempatkan pada saat adegan misa, berhasil menekankan pada kegundahan hati tokoh utama kita.

Perhatikan pula latar belakang di sekitar dua orang tokoh ini. Kerumunan dalam film ini tampak tak terlalu peduli, tapi dengan jeli Sidi memanfaatkan lirikan mereka sebagai sebuah pantulan bagi suasana hati Maryam. Kerumunan itu, bagi Maryam, jadi semacam hakim bagi posisi keimanannya. Orang-orang itu melirik tanpa kata-kata sama sekali, mungkin juga tak peduli-peduli amat, tetapi, Maryam tetap merasa bahwa ia sedang dipersalahkan karena berada di gereja dan ikut misa Natal. Maka dalam soal relijiusitas, Maryam memperlihatkan dengan amat jitu: pertarungan terbesar keimanan itu ada di dalam hati manusia. Tentu kehidupan sosial bikin tekanan besar terhadap pertarungan itu.

Benarkah demikian adanya? Saya menangkap satu lapisan konflik lagi yang menambah warna pada pertarungan itu. Hal ini ditampilkan oleh Sidi Saleh dengan amat halus, dan bagi saya, inilah yang membuat Maryam menjadi begitu indah. Maryam sedang hamil, dan siapa ayah dari anaknya itu?

Film ini tak menyodorkan jawaban amat jelas, dan jawaban jelas sama sekali tak diperlukan. Karena kita bisa lihat, tak perlu untuk jadi jenius bahwa ada hubungan-hubungan yang lebih dalam ketimbang apa yang dipercakapkan (kalau memang pertukaran kata-kata itu bisa dibilang percakapan) oleh para tokoh dalam film ini. Kita bisa melihat bahwa ada rahasia dibagikan, ada semacam kode yang dipertukarkan, ada perasaan yang bisa terasakan hingga keluar layar.

Sidi tidak mengeksplorasi perasaan itu jadi bahan roman picisan. Ia setia pada penceritaan yang elusif, menghindar dari kejelasan dan sentimentalisasi. Maka sah saja jika kita bertanya agak jauh: apakah ini kisah cinta yang terhalang keimanan? Ataukah ini soal-soal yang tak kita pernah pahami yang memang lebih dalam ketimbang keimanan?

Saya rasa Anda harus menonton sendiri film ini karena ulasan saya ini tak akan bisa menggantikan perasaan yang tumbuh ketika menonton Maryam.

One response to “Maryam: dimana Tuhan, dimana Tuan?”

  1. haru sammi Avatar

    boleh tahu di mana menontonnya?

Leave a comment