Penjahat Kian Dekat

Written in

by

Rakyat (Pengantar oleh Radhar Panca Dahana)

Siapa pihak paling dibela dalam sejarah manusia? Siapa mereka yang jadi subyek dan obyek utama pengetahuan dan budaya? Siapa yang mampu membuat seseorang berkubang darah mempertahankannya? Siapa dia yang jadi majikan kita sepanjang masa? Tuhan? Bukan. Tapi, rakyat.

Entah bagaimana makhluk dan entitas ini sebenarnya, Anda tinggal memilih sudut atau kacamatanya. Secara sosiologis, historis, politis, ideologis, bahkan secara individualistis Anda bisa dan bebas merumuskannya. Tapi yang jelas, ia adalah makhluk yang (sangat) ditinggikan. Tempat di mana kebenaran berdomisili atau diproduksi. Tempat di mana ”Tuhan diwakilkan”. Itu kata demokrasi.

Tapi benarkah demikian? Benarkah ia adalah rumah kesucian, keluguan, kedaulatan, hulu dari semua keputusan? Benarkah rakyat tidak berdosa, jujur, dan pantas di-”tuan”-kan? Betapa memilukan jika pada akhirnya kita terpaksa menjawab ”ya”.

Karena, betapa pun demokrasi, misalnya, berinti kata pada rakyat, rakyat sebenarnya tak pernah dibela. Apalagi berkuasa. Rakyat hanya sebuah konstruksi abstrak yang dibuat elite. Yang didayaguna untuk satu interes, yang diperdaya untuk satu tujuan bisnis misal saja. Rakyat pada akhirnya deretan digit abstrak yang tak berdaya. Ia melulu korban.

Lain hal, sejarah dan peristiwa mengajarkan, wajah naif dan ’inosens’ rakyat ternyata sulapan fotografis belaka. Mereka yang menyebut diri rakyat adalah mereka yang kedegilan, kejahatan paling menggiriskan. Mereka yang juga menipu, yang membunuh tanpa pengadilan, yang munafik, yang korup, yang…

Komprehensi itu bisa terbit dari tulisan menggelitik Eric Sasono, pengamat dunia audio visual, sebagai warga baru ’Teroka’ kali ini. Kejahatan dalam bentuknya terkini ternyata membuyarkan gambaran ideal apa pun tentang siapa rakyat. Tinggal kita: rakyatkah kita? Renunglah, renung, dengan membacanya.

Radhar Panca Dahana

 

Penjahat Kian Dekat

Dunia audio visual negeri ini memang berubah sejak kedatangan televisi swasta. Salah satu perubahan terbesar adalah kemunculan para penjahat, lewat serial televisi yang kerap kita sebut sinetron.

Mari bandingkan dengan film. Karl G Heider (1991) pernah meneliti film Indonesia sebagai cerminan budaya nasional. Heider menemukan sesuatu yang istimewa. Ternyata kebanyakan film Indonesia lebih suka mengedepankan ide pertentangan antara ketertiban (order) melawan kekacauan (disorder) ketimbang pertentangan antara baik (good) melawan jahat (evil).

Heider melihat ini sebagai persoalan kultural. Pada tingkatan bahasa verbal saja, orang Indonesia sudah memperlihatkan kecenderungan penekanan pada hubungan-hubungan sosial ketimbang kualitas individual.

Inilah gambaran Heider tentang budaya negeri ini yang lebih suka melihat perilaku dalam kaitannya dengan hubungan-hubungan sosial dan tidak punya nilai intrinsik. Maka, kejahatan punya tempat dalam fungsi pelaku sebagai pengacau, bukan perbuatan yang secara intrinsik dimiliki oleh si pelaku.

Krishna Sen (1994) sepakat dengan Heider. Hanya saja ia melihat persoalan ini sebagai bagian dari politik kebudayaan Orde Baru pada bidang film. Ia mengambil contoh usaha untuk memfilmkan kisah perkosaan Sum Kuning yang menghebohkan di tahun 1980-an dalam film Perawan Desa.

Sen memperlihatkan bahwa politik untuk mengedepankan harmoni membuat realitas direpresentasikan dalam kerangka mendahulukan harmoni. Penggambaran realitas saja sudah bermasalah, apalagi ketika realitas itu mengganggu harmoni.

Dalam gambaran Sen, terjadi penyensoran besar-besaran terhadap cerita yang diajukan kepada Departemen Penerangan. Jika tadinya skenario berisi mengenai gagal totalnya perjuangan Sumirah dalam menuntut keadilan, berubah menjadi tobatnya si pelaku, dan Sumirah jadi penyelamat pemerkosanya.

Penelitian kedua orang ini adalah pada dunia film, di mana ada perbedaan karakter media yang juga berarti perbedaan perlakuan secara kultural dan politik ketimbang televisi. Baik pada tingkat pekerja maupun pengambil kebijakan, film dan televisi dilihat punya peran masing-masing. Ada perbedaan muatan, representasi maupun perlakuan komersial. Namun satu hal yang penting: keduanya sama-sama merepresentasikan tingkat realitas tertentu terhadap kenyataan di negeri ini.

Selain itu, penelitian mereka terjadi pada masa Orde Baru dan tentu berbeda dengan keadaan sekarang. Kini Departemen Penerangan sudah tak ada, berganti dengan Departemen Komunikasi dan Informatika dengan niatan yang berbeda. Sementara film diatur oleh Departemen Pariwisata, Seni dan Kebudayaan. Kedua departemen ini tak lagi dimaksudkan sebagai pengendali muatan di media. Justru itulah kita bisa menyaksikan bagaimana sekarang pandangan tentang baik-jahat dan tertib-kacau sudah berubah sama sekali dari penelitian yang dikutip di awal tulisan ini.

Psikopat yang jahat

Kini televisi dipenuhi oleh orang-orang jahat. Kejahatan tidak lagi dilihat dalam kerangka penciptaan kekacauan, tetapi sudah dipandang sebagai memiliki nilai intrinsik.

Manusia-manusia Indonesia yang digambarkan dalam sinetron mampu melakukan kejahatan dengan motivasi yang umumnya berasal dari kualitas buruk manusia itu sendiri: iri hati, dengki, ketidakmampuan menerima kenyataan, dan sebagainya. Kejahatan yang mereka lakukan juga tergolong kriminalitas berat. Dengan niat jahat mereka menabur racun, menyiapkan pisau, menyiksa, dan melakukan kejahatan terencana lainnya.

Dari segi korban, biasanya korban kejahatan dalam sinetron-sinetron ini punya hubungan sosial yang cukup dekat atau bahkan hubungan keluarga dengan pelakunya. Kejahatan macam tadi yang dilakukan oleh orang dekat hanya mungkin dilakukan jika para pelaku itu adalah psikopat atau mengalami gangguan kejiwaan serius.

Sinetron-sinetron berlabel religius belakangan ini menambah kontras pada hitam-putihnya dunia audio visual kita. Hubungan-hubungan sosial pelaku kejahatan dengan korban pada sinetron religius bahkan bisa hubungan keluarga inti langsung, seperti ayah-anak atau anak-ibu dan sebagainya. Kejahatan yang dilakukan sudah bertumpuk. Selain iri hati atau dengki, kini ditambah dengan ketamakan dan sikap abai terhadap kehormatan diri sendiri.

Mereka adalah pemuja kenikmatan dunia yang tak punya kualitas ilahiah sedikit pun dalam hidup mereka. Para penjahat sinetron religius digambarkan sedemikian kelamnya hingga tak ada secuil pun sinar bagi mereka untuk bertobat.

Struktur narasi juga menempatkan mereka menghinakan orang-orang yang taat beribadah sehingga mereka juga melakukan penghinaan terhadap agama. Lebih buruk lagi, penggambaran hukuman terhadap mereka juga ekstrem, berupa siksaan abadi yang datang dari Tuhan dan tak ada sama sekali kemungkinan mereka bertobat.

Omong kosong

Apakah manusia Indonesia sudah berubah jahat seperti ini? Apa penyebabnya? Mengapa pula balasan yang bersifat ilahiah ini harus ditimpakan tak cukup di akhirat, tapi juga di dunia dan harus pula disaksikan oleh para korbannya (juga penonton televisi)? Sampai di sini, kita memerlukan studi lebih dalam untuk mendapat jawaban yang meyakinkan atas rangkaian pertanyaan di atas.

Namun, ada beberapa hal yang bisa dilihat dari fenomena ini. Pertama, harmoni hubungan sosial yang ada dan digambarkan selama ini ternyata omong kosong dan manusia Indonesia ternyata melihat tetangga-saudara-teman sepermainan dalam iri hati yang dalam. Satu sama lain siap saling menjatuhkan dengan segala cara yang tak terpikirkan oleh manusia berakal dan berjiwa sehat. Persoalannya hanya menunggu waktu dan tempat yang tepat saja.

Di sisi lain, perbedaan kepentingan dan konflik tak pernah dikelola dengan baik, sehingga bangsa ini tak terbiasa memecahkan persoalan dengan baik-baik. Akibatnya, konflik dan perbedaan kepentingan hanya dilihat dalam kerangka saling menihilkan.

Kedua, lemahnya penegakan hukum dan hilangnya rasa keadilan mungkin sedikit banyak tercermin dari kecenderungan untuk menghukum pelaku kejahatan dengan balasan seberat-beratnya, tanpa ampun dan diperlakukan sebagai tontonan. Hal ini semacam social redemption, di mana hukuman berlaku sebagai mekanisme pembalasan dendam semata dan bukan sarana rehabilitasi.

Ketiga, kecenderungan untuk kembali kepada religiusitas simplistis tampak seperti ketidakpercayaan terhadap pemecahan masalah lewat institusi-institusi sosial. Agama dalam penggambaran sinetron religius tidak berfungsi sebagai pembangun kohesi, solidaritas sosial ataupun fungsi-fungsi sosial lainnya, melainkan mewakili gambaran penyederhanaan wacana tentang kebaikan. Jelas hal ini merupakan pendangkalan makna agama dan hilangnya fungsi agama sebagai pembebas kemanusiaan.

Misrepresentasi

Mudah-mudahan persoalannya tak semuram itu. Bagaimanapun, media audio visual adalah sebuah representasi dan representasi ini terkadang tidak sepenuhnya dikerjakan dengan baik. Sebagai representasi, sinetron mengadopsi pengetahuan yang dimiliki (stock knowledge), pemahaman dan cara pandang yang dimiliki pekerjanya dalam bentuk-bentuk yang sudah jadi.

Mekanisme produksi yang serba cepat dan tergesa membuat pekerja sinetron tak punya waktu melakukan riset, atau setidaknya meninjau ulang isi pengetahuan yang mereka miliki. Dengan demikian, jika ingin memandang persoalan ini secara positif, kita melihat bahwa sinetron-sinetron penuh penjahat ini adalah misrepresentasi serius kehidupan kita sehari-hari. Misrepresentasi ini jangan-jangan hanya mencerminkan pandangan para pembuatnya saja.

Namun, di sisi lain, jangan sampai misrepresentasi ini menjadi semacam self-fulfilling prophecy, yaitu ketika misrepresentasi itu dipercaya sebagai kenyataan yang memang demikian adanya. Jalan menuju ke sana sangat jelas dengan teriakan para pekerja sinetron dan televisi bahwa produk semacam itulah yang dikehendaki pasar. Para pekerja televisi selalu menunjuk peringkat (rating) sebagai bukti kegandrungan masyarakat itu.

Apakah para pekerja sinetron sedang berkata bahwa masyarakat kita memang berpandangan seperti yang digambarkan di atas? Padahal, jangan-jangan itu karena ’ulah’ para pekerja televisi dan kebijakan mereka yang tak pernah memberi alternatif sehingga masyarakat menjadi terbiasa dengan bentuk narasi demikian. Bukankah jika pandangan murah ini terbukti, bangsa ini sedang mengalami persoalan yang sangat serius?

Eric Sasono
Pengamat dan Aktivis LSMPengembangan Media

 

Tags

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: