
Kelly Reichardt belakangan dianggap penting di Amerika lantaran estetika yang berbeda dengan film-film Hollywood pada umumnya. Film-filmnya tidak dramatis dan menyembunyikan hal-hal spektakuler. Kita diberi gambar2 dan frame sehari2 seakan sinema adalah ruang keseharian bagi tokoh2 yang kebetulan kisahnya harus disampaikan. Tokoh-tokoh dalam film Reichardt juga tak butuh justifikasi untuk berada di layar. Mereka bukan para penyelamat dunia atau sedang berjuang menghadapi penyakit berat dan semacamnya. Mereka menghadapi keseharian yang sulit atau situasi emosional complex.
Salah satu yang paling banyak disebutkan tentang Reichardt adalah film-filmnya minimalis, tanpa dialog “cerdas”, atau kecohan alur cerita. Sinematografinya juga konvensional, sehingga film-filmnya sulit dilihat memiliki ‘one perfect shot’, satu shot tunggal yang seakan mewakili keseluruhan momen dramatik yang ia bangun. Musik dalam filmnya juga minimalis, cenderung menggunakan suara diegetik untuk menemani adegan.
Film-film Reichardt menekankan cerita para tokoh, ketimbang pamer kemampuan atau keterampilan teknis si pembuat film. Buat saya, ini menghindar dari kultur agresif-ekspansif-kompetitif-pamer (dan toxic) yang ada pada para master (laki-laki) cinema dunia yang dipuja-puja selama ini. Di sini Kelly Reichardt jadi penting.
Perkenalan tokoh-tokoh dalam filmnya terjadi dalam situasi sehari-hari, tanpa build-up dan minim drama. Bandingkan misalnya dengan pengenalan Harry Lime [Orson Wells] di The Third Man (Carroll Reed, 1949) di mana keseluruhan film adalah build up agar Lime bisa masuk ke dalam film dengan sangat dramatis, seakan mempengaruhi jalannya perang dunia kedua. Dengan genre beragam, menonton film Reichardt adalah menikmati drama yang minimalis yang terjadi dalam situasi sehari-hari.
River of Grass (1996) adalah crime film macam Bonnie and Clyde yang disajikan tanpa glorifikasi. Film ini bahkan seakan anti beautifikasi, dengan memilih aktor dan aktris di luar standar kecantikan dan ketampanan di Amerika. Shot2 juga tidak berada dalam ukuran keindahan Hollywood. Akhiran film yang seharusnya bisa jadi drama besar, digambarkan tidak dramatis, dalam jarak dekat tanpa build-up.
Dalam genre Western Meek’s Cutoff (2010), ruang dan peristiwa digambarkan pragmatis dengan menekankan pada kesejajaran para tokoh (bersenjata, anak2, perempuan) menghadapi lanskap padang gersang. Battle of sex hadir dalam gesture kecil yang memuncak pada akting Michelle Williams, karena framing dan bangunan scene cenderung nirklimaks. Akhiran tanpa penutup pada film ini jadi bagian gaya Reichardt yang menekankan pada ketidakpastian plot dan ketidakbutuhan sinema untuk menyelesaikan masalah kehidupan, ketimbang memberi hiburan yang kelar dan “solutif” saat menonton.
Night Moves (2017) hadir sebagai sebuah antitesis bagi kekisahan spektakuler. Kelompok aktivis yang digambarkan film ini justru lebih banyak menghabiskan waktu dalam keseharian. Aksi peledakan (standar narasi spektakuler Hollywood) hanya muncul sebagai dentuman sayup-sayup. Kamera lebih sibuk memandangi wajah ketiga pelaku yang tampak merenung makin dalam saat dentuman terjadi. Ini seperti pintu masuk bagi pedalaman hati Jesse Eisenberg yang kemudian hidupnya tak lagi sama sesudah ledakan itu. Ia mulai seperti tertekan oleh rasa bersalah. Tanpa mendramatisir, Night Moves bicara tentang konsekuensi sebagai bagian dari keseharian, bukan lewat pidato, peristiwa monumental atau pembelaan diri panjang lebar yang mudah ditemukan pada film karya laki-laki.
Night Moves ini buat saya adalah semacam penghormatan pada realisme model Robert Bresson yang menekankan pada emosi-emosi kecil dan observasional daripada keterlibatan dengan konflik dan peristiwa besar secara langsung. Ini dilakukan mulai dari kesulitan memesan pupuk dalam jumlah besar hingga peristiwa-peristiwa pasca ledakan yang lebih banyak berpusat pada upaya Eisenberg menemukan dirinya lagi ketimbang tujuan peledakan dan ideologinya. Ini menjadi ciri khas dari film-film Reichardt.
Penghormatan terhadap Bresson tampak pada Wendy and Lucy (2008) yang mengingatkan pada salah satu film kesukaan Reichardt, Mouchette (Bresson, 1967). Adegan Wendy tidur di semak-semak mirip dengan momen ketika Mouchette harus berteduh saat hujan, dan kemudian dihampiri oleh Arsène yang membawa ketidakpastian: apakah Mouchette harus bersyukur atau merasa terkutuk akibat peristiwa itu. Ketidakpastian adalah tema utama Wendy and Lucy. Dalam perjalanan mencari kerja di Alaska, Wendy harus berpisah dengan anjingnya, Lucy (anjing milik Reichardt yang muncul juga di Old Joy) lalu mobil Honda Accord-nya mogok. Ini jadi kutukan bagi Wendy dan kita mengintip hidupannya sebagai seorang prekariat. Bahkan perjalanannya ke Alaska berdasar ‘konon’ di sana pekerjaan mudah didapat. Yang jelas, Wendy berharap di sana ia bisa hidup menyendiri tanpa harus mengungkap dirinya kepada siapapun.
Certain Women (2016) terasa lebih pasti dalam menyajikan situasi emosional para tokohnya. Lewat tiga tokoh utama dalam tiga cerita berbeda, film ini mengungkap situasi emosional yang kompleks dalam situasi interaksi mereka. Ini jelas pada tokoh yang diperankan Michelle Williams (langganan di film-film Reichardt) yang berupaya untuk mendapatkan batu pasir (sandstone) dari seorang tetangganya saat ingin merenovasi rumah. Hubungan keduanya tampak tegang tak terkatakan. Williams berusaha untuk berbaik-baik (karena ia punya agenda) dan disambut dengan sangat datar. Suasana emosi yang berjarak dan tak terjelaskan ini dibiarkan menggantung hingga akhir cerita. Demikian pula hubungan antara Lily Gladstone dan Kristen Stewart yang terasa tak simetris, dan bagaimana keduanya dihubungkan oleh keterpisahan dengan lingkungan terdekat mereka.
Old Joy (2006) mengeksplorasi hubungan yang asimetris di mana Kurt (Will Oldham) masih berada di masa lalu, sedangkan Mark (Daniel London) sudah mulai berkomitmen pada rumah tangga. Reuni bagi Mark adalah sebuah akhir pekan singkat untuk menunaikan rasa penasaran, sedangkan bagi Kurt ini merupakan upaya meraih kembali kenangan sebagai sahabat. Kurt berusaha membangun bromance itu, tapi Mark tak pernah merasa nyaman. Ketika mereka kembali ke kota, Mark langsung kembali ke istrinya sementara Kurt bagai tak punya tujuan, menegaskan bahwa asimetri hubungan ini nyata dan persahabatan keduanya bagai jarum jam yang tak bisa berjalan mundur.
Persahabatan yang simetris justru ada pada First Cow (2020), sebuah gambaran dunia baru para kolonialis awal di Amerika. Kedua sahabat ini berada di pinggiran, dan bertemu ketika sama-sama menghindar dari kekerasan terhadap mereka. Keduanya saling membantu berjualan kue yang dibuat dengan susu hasil curian dari sapi yang ada di koloni. Lalu kisah keduanya membuat dan berjualan kue jadi pameran ketegangan yang tak terkatakan antara keinginan untuk mendaku keberhasilan dan ketakutan akan pencurian yang mereka lakukan. Konflik yang atmosferik ini seperti mengajak kita menjadi lebih sensitif terhadap hal-hal yang sederhana dan tak terkatakan, sesuatu yang sulit ditemukan dalam film Amerika yang umumnya overdramatis dan sensasional.
Maka jika Reichardt dianggap penting, ini bisa dipahami sebagai upaya membuka ruang lebih besar bagi suara-suara yang selalu ditekan demi menghasilkan imaji heroisme berbual-bual. Sudah waktunya ini dilakukan demi memberi imbangan bagi kebiasaan pamer yang beracun, yang selama ini dianggap patokan yang paling hebat dalam sejarah sinema.
Leave a Reply