
1
Etnografi indrawi atau sensory ethnography dipelopori oleh Sensory Ethnography Lab (SEL) yang berpusat di Universitas Harvard, Amerika Serikat, di bawah pimpinan pembuat film Lucien Castaing-Taylor. Akademisi Scott McDonald di bukunya American Ethnographic Film and Personal Documentary: The Cambridge Turn melihat gerakan ini sebagai bagian dari tradisi panjang perkembangan etnografi visual yang berkembang di kota Cambridge, kota lokasi Harvard berada. Beberapa karya SEL dari laboratrium itu antara lain Sweetgrass (Lucien Castaing-Taylor dan Ilisa Barbash, 2009), Leviathan (Lucien Castaing-Taylor dan Verena Paravel, 2012), Manakamana (Stephanie Spray and Pacho Velez, 2013) dan Foreign Parts (Verena Paravel dan J.P. Sniadecki, 2011). Sedangkan karya seperti ini di Indonesia dipelopori oleh Aryo Danusiri lewat On Broadway (2011), dokumenter pendeknya Flaneur (2011) dan House No.15 (2018), serta Diary of Cattle (2019) karya David Darmadi dan Lidia Afrilita .
Etnografi indrawi berangkat dari etnografi, tetapi pada saat yang sama ia juga melakukan kritik terhadap kecenderungan sinema yang terlalu berpusat pada elemen naratif-verbal. Etnografi, yang pada dasarnya berupaya menggambarkan kehidupan dan pengalaman (orang lain), kerap melakukannya dengan kata-kata, bahkan ketika bentuknya adalah etnografi visual. Ini terjadi karena gambar dan suara dalam karya etografi visual dibuat untuk mendukung penjelasan naratif-verbal. Dalam bentuk ini, suara hadir bersifat verbal – kegunaannya untuk penjelasan dari hal-hal tekstual dalam film. Demikian pula elemen visual, ada sebagai penjelasan naratif – demi untuk “bercerita”. Pendeknya, dalam pendekatan semacam ini, sinema dan elemen-elemennya hanya ada untuk keperluan representasi atau mewakili sesuatu yang ada di luar dirinya.
Etnografi indrawi mencoba menaklukkan rezim ini dengan mengedepankan bentuk sensorial, di mana seluruh indra diberi kesempatan sama dalam menikmati film dan memahami pengalaman etnografis. Maka dalam perlakuan terhadap suara, yang verbal tidak didahulukan dibandingkan yang sonik. Demikian pula soal gambar, yang naratif-verbal tidak dimenangkan dari yang kinetis, kerja kamera untuk menangkap gerak, dan yang optis atau kerja kamera untuk melihat perubahan komposisi gambar. Tujuan dari etnografi semacam ini adalah membuat film menjadi “mesin persepsi” dan tidak bergantung pada interpretasi yang sudah terjajah rezim naratif-verbal tadi.
Dengan demikian, film seperti ini tidak selalu menjadikan manusia sebagai pusat film. Terbukalah kemungkinan sinema yang tidak antroposentris alias tidak lagi menjadikan manusia sebagai pusat semesta. Selain itu, gambar dan suara dianggap pantas berada dalam sinema tanpa harus menjadi utusan dari kenyataan.
Dengan pengertian seperti ini, di mana tempat film etnografi indrawi di Indonesia? Apakah karya etnografi indrawi bisa mendapat tempat terutama mengingat dua hal yang saling berkaitan: karya etnografi di Indonesia kadung masuk dalam rubrik film dokumenter, dan isilah ini sudah dipenuhi oleh imbuhan politik dan ideologis, terutama soal perannya dalam propaganda di masa kolonialisme dan Orde Baru. Kedua,
Dengan melihat perkembangan film dokumenter Indonesia film etnografi sensorial tidak hanya sedang melawan dominasi rezim naratif-verbal secara umum, tetapi juga harus menghadapi pencarian fungsi didaktik dalam film – terutama pada film dokumenter di Indonesia. Tulisan ini ingin menjabarkan hal tersebut.

2
Di Indonesia, film dokumenter selama beberapa dekade dianggap sebagai alat penyuluhan atau propaganda karena fungsi itu dominan pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, dan ini berlanjut di masa Orde Baru. Pada masa Belanda dikenal ‘film pes’ atau film yang mengajarkan perilaku bersih dan tata cara menjaga sanitasi kepada rakyat di negeri jajahan (Irawanto, 2011). Film seperti ini dianggap tidak punya nilai artistik dan penyebutannya dimaksudkan sebagai olok-olok.
Setelah Indonesia merdeka, lewat film-film yang diproduksi oleh Perusahaan Film Negara (PFN) yang berbentuk film-film berita (newsreel), dan seri film Gelora Indonesia (sering dirancukan namanya dengan Gelora Pembangunan), rezim Orde Baru menggunakan film dokumenter sebagai promosi keberhasilan pembangunan yang diniatkan agar membuat manusia Indonesia menjadi manusia modern yang sepenuhnya mendukung harmoni politik dan proses pembangunan ekonomi nasional.
Dalam bentuk-bentuk dokumenter propaganda seperti ini, elemen naratif film umumnya tertutup di mana semua jawaban tersedia dalam film dan penonton diharapkan hanya punya satu tanggapan saja terhadap narasi tersebut yaitu mempercayainya.
Di tengah dominasi model penyuluhan-propaganda seperti ini, ‘film etnografi’ muncul di TVRI dekade 1980-an dengan isi berupa penggambaran kelompok suku ‘terpencil’ dan kehidupan sehari-hari mereka yang dianggap unik untuk dihadirkan sebagai tontontan nasional. Sekalipun dikritik sebagai upaya dominasi budaya non-nasional serta melakukan self-othering (meliyankan bangsa sendiri), film etnografi seperti ini bisa dipandang sebagai “hasil karya intelektual yang mampu menjadi perwujudan dari misi film yang kultural edukatif” (Peransi, 1986). Pembelaan Peransi ini bisa dilihat sebagai coblosan (puncture) terhadap puncak intensitas ideologi pembangunan Orde Baru yang tengah melakukan konsolidasi ideologi, sekaligus pencarian ruang eksperimen sambil tetap bicara dalam leksikon yang bisa diterima secara luas ketika itu.
Bentuk ‘etnografis’ seperti ini masuk ke arus utama di pertengahan 1990-an melalui seri Anak Seribu Pulau (Miles Film) yang disutradarai oleh para sutradara terkemuka di Indonesia saat itu seperti Garin Nugroho, Riri Riza, Ension Sinaro dan lain-lain dan disiarkan di enam TV swasta. Seri ini bisa jadi merupakan upaya untuk keluar dari penggambaran anak Indonesia yang berpusat pada Jakarta (Wibawa, 2009) yang bisa dilihat di serial Si Unyil. Namun penggambaran Anak Seribu Pulau dipandang terlampau idyllic dan membuat ruang multikultur Indonesia menjadi tampak steril dari konflik (Strassler, 2006).
Seri ini kemudian menimbulkan tema dan motif berulang di TV Indonesia (Petualangan Si Bolang, Anganku dan lain-lain) bahkan bisa dibilang menjadi semacam acuan bagi penggambaran Indonesia yang multikultur dalam film dokumenter dengan menghilangkan tekanan-tekanan struktural di dalamnya. Terutama ini bisa ditemukan pada film-film hasil karya lokakarya Eagle Awards yang didanai oleh Metro TV.
Bentuk ‘etnografi’ yang berbeda muncul pada Air dan Romi (Garin Nugroho, 1991), yang menyempal dari tema dan gaya yang kerap ditemui di masa Orde Baru (Ishizaka, 1998; Hanan, 2004). Para tokoh dalam Air dan Romi dibiarkan bicara tanpa diwawancarai, dan kamera berada dalam ketinggian pandang sejajar dengan mereka. David Hanan bahkan memuji film ini seakan memberi tempat bagi para subyeknya untuk bicara sendiri, dan pembuat film sedang memberdayakan mereka. Film ini dianggap punya potensi politik oleh David Hanan terutama karena fakta bahwa dinas intelijen Indonesia berniat menyita master film tersebut (Hanan, 2004). Melihat hal ini bisa dianggap bahwa film etnografi mampu menjadi perlawanan estetik dan politik di saat bersamaan.

3
Air dan Romi dibuat sebagai bagian dari kampanye lingkungan hidup yang dibiayai oleh pusat kebudayaan Jerman, Goethe Institute sebagai bagian dari kampanye organisasi non-pemerintah (NGO) yang merebak seiring pertumbuhan mereka sebagai ‘oposisi semu’ (Aspinal, 2005) pada dekade 1990-an. Sebagai bagian dari kampanye NGO, pemberdayaan menjadi tema utama film-film dokumenter Indonesia 1990-an dan berlanjut ke masa sesudah Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai Presiden RI di tahun 1998. Bahkan hingga kini, film dokumenter terus dibuat dengan dana dari NGO untuk penyadaran hak politik, persoalan lingkungan dan berbagai tema pendidikan kewargaan lain untuk menghasilkan warga yang mampu berpikir rasional dan siap terlibat dalam proses pembentukan opini publik serta pengambilan keputusan politik. Melalui langkah semacam ini, film dokumenter sudah memasuki posisi sebagai bagian dari masyarakat sipil di Indonesia – dan menyeret dunia film pada umumnya untuk ikut serta ke dalamnya. Apa yang dimulai oleh Garin Nugroho melalui Yayasan SET diikuti oleh Shanty Harmayn lewat YMMFI (di bawahnya ada In-Docs yang ikut merancang Eagle Awards pada awal kelahirannya) dan Nia Dinata dengan Kalyana Shira Foundation.
Pada film dokumenter seperti ini, upaya penyadaran penonton menjadi warga negara yang sadar akan hak dan kewajiban menjadi tujuan utamanya. Pada umumnya film dokumenter ‘penyadaran’ seperti ini berangkat dari logika yang sama dengan ‘logical framework analysis’ yang kerap menjadi dasar bagi siklus kerja organisasi non-pemerintah: identifikasi masalah – penjabaran masalah – solusi. Dibuat dengan elemen narasi yang umumnya juga tertutup, film dokumenter seperti ini kerap menjadi bagian dari bahan diskusi dan diputar di ruang-ruang bukan bioskop (non-theatrical setting) dan dihadiri oleh pekerja organisasi non-pemerintah yang menjadi narasumber dalam diskusi.
Model kekisahan film dokumenter seperti ini mencapai puncaknya pada film-film yang dibuat oleh Watchdoc, sebuah rumah produksi swasta yang punya kepedulian sosial-ekonomi-politik yang sangat tinggi. Melalui program ‘corporate social responsibility’ mereka, Watchdoc membuat film-film bertema pendidikan publik dengan mengambil tema utama dari Kovenan Sipil dan Politik dan terutama Kovenan Ekonomi Sosial Budaya PBB.
Dengan pendekatan yang menggabungkan metode yang mirip film penyuluhan-propaganda dan tema pendidikan kewargaan, Watchdoc berniat menyodorkan gugatan posisi moral dan ekonomi-politik penontonnya di tengah himpitan neoliberalisme yang semakin menekan manusia Indonesia. Salah satu contoh paling menarik dari pendekatan Watchdoc ini adalah seri Indonesia Biru yang mirip dengan subversi dari Anak Seribu Pulau lantaran menggambarkan ruang-ruang multikulturalisme di pelosok di Indonesia sebagai resultan tekanan ekonomi-politik serta kecenderungan sentralisme dan penyeragaman yang menggerus milik bersama (common), yang merupakan modal utama daya tahan atau resiliensi ekonomi-politik di tingkat lokal.
4
Fungsi didaktik film dokumenter seperti di atas mendominasi Indonesia pada decade pertama sesudah Soeharto mengundurkan diri. Di tengah situasi itu muncul Lukas’ Moment (Aryo Danusiri, 2006) yang dianggap sebagai sebagai pelopor bagi film dokumenter observasional di Indonesia (Hanan, 2012). Lewat penggambaran anak muda Papua yang mencoba memulai usahanya secara mandiri, film ini melawan berbagai stereotip sekaligus: 1) stereotip tentang anak muda yang tak mampu memulai usaha, 2) tentang warga Papua yang dianggap malas, 3) tentang upaya mencapai kemandirian ekonomi dengan dukungan organisasi non-pemerintah.
Film ini dibuat dengan teknik observasi – teknik di mana kamera dan pemegangnya berusaha untuk sesedikit mungkin terlihat melakukan intervensi dan membiarkan subyek mereka melakukan keseharian dan mengungkapkan dialog untuk menceritakan kisah mereka. Format ini kemudian menjadi salah satu yang menonjol dengan munculnya beberapa dokumenter seperti Negeri di Balik Kabut (Shalahuddin Siregar, 2011), Denok dan Gareng (Dwi S. Nugraheni, 2012) dan Layu Sebelum Berkembang (Ariani Djalal, 2012) yang berhasil menggabungkan antara kemungkinan estetik dan kritik struktural secara bersamaan.
Film-film dokumenter ini menghendaki adanya investasi intelektual dan emosi yang cukup tinggi dari penonton untuk mencoba memahami lingkungan sekitar pada tokoh dalam film dokumenter sebagai bagian dari elemen naratif, dan tidak terpaku pada aspek verbal saja. Gambar dan suara tidak hanya ada untuk mendukung kata-kata dalam film, melainkan bahasa sendiri yang tiba ke hadapan penonton sebagai bagian dari lingkungan yang harus dipahami. Maka posisi politik dalam film seperti ini tidak bersifat didaktik yang satu arah dengan menyodorkan posisi moral yang tegas harus diikuti penonton, melainkan dengan cara membuka berbagai kemungkinan, termasuk untuk respon yang berada di batas-batas antara kesadaran rasional dan emosional.
Jika memang ada landasan bagi etnografi indrawi untuk tumbuh di Indonesia, maka apa yang sudah diupayakan oleh Peransi, Garin Nugroho dan dokumenter observasional ini akan menjadi landasan bagi etnografi sensorial untuk tumbuh di Indonesia. Karya-karya seperti itu sudah memberi kesempatan bagi kemungkinan estetik dan di saat yang sama mengangkat persoalan-persoalan struktural yang besar dan menghimpit. Film-film observasional yang saya sebut di atas bicara soal absennya negara dan perubahan identitas dalam persoalan kemiskinan akibat perubahan iklim (Negeri di Balik Kabut), kemiskinan dan prasangka agama (Denok dan Gareng), dan tekanan neoliberalisme dalam dunia pendidikan (Layu Sebelum Berkembang).
Film etnografi sensori ingin melangkah lebih jauh dalam membuka kemungkinan dengan tidak menjadikan aspek naratif-verbal menjadi faktor utama, bahkan gambar dan suara tidak dibuat semata untuk representasi dunia nyata. Gambar dan suara dianggap punya nilai yang mencukupi untuk berada di dalam film guna membuka kemungkinan sinema di luar apa yang sudah diketahui manusia.
Ambisi seperti ini sulit karena secara institusional, film dokumenter di Indonesia (dan juga dominan di seluruh dunia) digunakan sebagai sarana penyampaian pesan, baik secara monolog maupun secara partisipatoris untuk penyadaran kewargaan. Model kewargaan yang diharapkan untuk muncul secara umum masih berupa kesadaran rasional yang mengarah pada pembentukan opini publik dan pengambilan keputusan politik. Hingga sejauh ini, posisi semacam ini masih dominan dan dianggap terasa mendesak karena tekanan struktural yang semakin menguat dengan keberpihakan rezim terhadap investasi dan menjadikan warga sebagai kolateral dari pembangunan ekonomi.
Di sisi lain, ketersediaan dana bagi pembuatan film dokumenter masih ada pada model-model didaktik dan kampanye ketimbang pada perkembangan kemungkinan estetik. Sirkulasi film dokumenter di Indonesia juga masih terbatas pada festival-festival dan ruang-ruang khusus. Siaran televisi di Indonesia juga belum memberi ruang pada film dokumenter yang artistik, berbeda dengan di televisi Inggris misalnya yang menayangkan Leviathan (Lucien-Castaing Taylor dan Verena Paravel) atau dokumenter observasi berjudul National Gallery (Frederick Wiseman) yang panjangnya 4 jam. Ketiadaan infrastruktur penayangan film dokumenter menjadikan film-film etnografi indrawi di Indonesia akan beredar di galeri, festival atau penayangan khusus.
Dengan demikian, masih panjang jalan yang harus ditempuh etnografi sensorial untuk bisa mendapat tempat yang luas – bahkan dalam khazanah film dokumenter Indonesia secara khusus.
Referensi
Aspinall, Edward. Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. (Stanford: Stanford University Press, 2005), 16-18.
Hanan, David. “The Films of Garin Nugroho: Political Documentaries and Essay Films by Garin Nugroho dalam Late New Order and Post ‘Reformasi’ Indonesia.” Spectator, 24, no.2, (2004): 39 – 49.
Hanan, David. “Observational Documentary Comes to Indonesia, Aryo Danusiri’s Lukas’ Moment” dalam Southeast Asian Independent Cinema. (ed.) Tilman Baumgartel (Hong Kong: Hong Kong University Press, 2012), 105-116.
Ishizaka, Kenji. “An Interview with Garin Nugroho,” Ishizaka Kenji, dalam Docbox Yamagata International Film Festival, https://www.yidff.jp/docbox/14/box14-2-1-e.html.
Budi Irawanto, “Beyond Big Dramatic Moments: Indonesian Documentary Films in 21st Century, in Asian Documentary Today (eds.) Jane HC Yu and Asian Network of Democracy (Busan: Busan International Film Festival, 2012).
D.A. Peransi, “Film Dokumenter di Indonesia (Beberapa Pokok Pikiran) dalam DA Peransi dan Film (ed.) Marseli Sumarno (Jakarta: Lembaga Studi Film, n.t), 43.
Strassler, Karen. “Stories of Culture: Difference, Nation and Childhood in ‘Children of a Thousand Islands,’ an Indonesian Television Series.” Sights—Visual Anthropology Forum 2006 (1996), http://cc.joensuu.fi/sights/karens.htm
Wibawa, Satria. “The Children of a Nation: The Representation of Children in Garin Nugroho’s films”, in Asian Hot Shots: Indonesia (eds.) Yvonne Michalik and Laura Coppens (Marburg: Schuren, 2009), 119.
Leave a Reply