Apa yang bisa dilakukan oleh pekerja rendahan saat rehat makan siang? Bermacam-macam, salah satunya melakukan permainan seperti yang dilakukan Diah (Rosa Winenggar) dan Jarwo (Yohannes Budhyambara).
Seperti dalam film Prenjak atau In The Year of Monkey -yang meraih gelar film pendek terbaik di Festival Film Cannes 2016- Diah menjual batang korek api kepada Jarwo, agar dengan korek api itu Jarwo bisa menyalakan korek di kegelapan untuk melihat bagian tubuh Diah yang paling pribadi: vaginanya.
Mungkin bukan sepenuhnya permainan karena soal alat kelamin begitu serius bagi banyak orang.
Namun sebagaimana permainan, perilaku dua orang ini terhubung dengan banyak konvensi dan aturan yang menentukan persepsi tentang kalah dan menang.
Seperti sutradara film ini, Wregas Bhanuteja, saya sendiri mendengar banyak kisah seperti ini hingga awal dekade 1990-an.
Biasanya para penjaja seks dengan upah paling murah menjual batang korek api kepada anak-anak untuk melihat vagina mereka di kegelapan ketika sedang sepi pelanggan
Dalam Prenjak, Diah dan Jarwo duduk berhadapan di atas meja dan setelah kesepakatan tercapai, Jarwo masuk ke bawah meja dan menyalakan lilin untuk melihat alat kelamin Diah.
Seks lazim dan tidak lazim?
Wregas mengubah situasi transaksi tersebut tetapi ia mempertahankan berbagai persoalan di baliknya.
Persoalan pertama adalah transaksi seksual yang tidak lazim. Apa yang bisa didapat dari memandangi vagina di kegelapan ditemani cahaya korek api dalam waktu terbatas?
Tentu ini voyeurisme, kenikmatan yang didapat lewat kegiatan mengintip, dan Wregas mengajak kita penontonnya menjadi pengintip bersama.
Bisa jadi intip mengintip sebagai transaksi seks dipandang tidak lazim, tapi justru itu: apa sebenarnya lazim dan tidak lazim dalam transaksi seks?
Bersama pertanyaan itu turut terbawa segala yang terkait seks, semisal moralitas, sekali pun soal tersebut bukan jadi perhatian utama film ini.
Kita sudah teramat biasa hanya menilai transaksi seks dari soal moralitas semata padahal transaksi seks seperti diperlihatkan Wregas lewat Prenjak, bisa berarti permainan kekuasaan mengenai tubuh, imaji, dan kepuasan serta kesepakatan yang terbangun melalui elemen-elemen itu.
Harga dan syarat bisa ditetapkan sendiri karena diserahkan kepada masing-masing pihak, dan kepuasan tidak harus punya standar tertentu.
Akhirnya transaksi seks adalah urusan manusia dalam mendefinisikan hubungan-hubungan mereka, yang sama saja dengan kegiatan lain seperti makan atau tidur, misalnya.
Maka Wregas memperlihatkan alat kelamin dalam film ini, bukan hanya karena alat kelamin menjadi titik pijak utama cerita, tetapi juga kenyataan bahwa transaksi seks bersandar padanya, dan ternyata alat kelamin jauh dari glamor dan erotis.
Alat kelamin bahkan tampak lemah dan tak menarik, sebagaimana lebih sering kita lihat sehari-hari.
Maka apakah moralisasi atau pengimbuhan nilai apa pun terhadap intip mengintip dalam transaksi seks seperti dalam film ini masih relevan?
Persoalan kedua dalam transaksi seks adalah situasi ekonomi, karena transaksi seks kerap dipandang sebagai sebuah jalan pintas untuk mengatasi kesulitan keuangan.
Soal ‘pekerja rendahan’ yang saya sebut di atas bisa jadi penting karena mengimplikasikan ada tekanan ekonomi –yang sebetulnya merupakan moral kompas yang rada klise– yang memotivasi Diah.
Aspek sosial dan moral
Ia ‘terpaksa’ melakukan hal semacam ini karena ada sesuatu yang tak bisa ia penuhi dengan -saya asumsikan- upah rutinnya. Inilah argumen sapujagad untuk transaksi seks yang masih dipegang oleh Wregas.
Ada semacam ‘tujuan mulia’ yang membuat tindakan semacam itu bisa ‘dimaklumi’.
Lagipula toh, kalau masih ada perbedaan antara satu jenis penjajaan seksual dengan yang lain, yang Diah lakukan adalah permainan intip mengintip bukan penetrasi alat kelamin.
Dari kaca mata moralitas mungkin itu sama saja, tapi inilah inti transaksi seks: kepuasan dan hal semacam itu adalah permainan yang bergantung pada kesepakatan.
Wregas melepaskan aspek sosial permainan ini menjadi semacam pekerjaan rumah para penonton dan berbagai institusi, seperti Lembaga Sensor Film.
Memang tak ada masyarakat dalam film ini, kecuali bahwa mereka hadir dalam tatapan celingukan separuh cemas Diah dan Jarwo sebelum permainan dimulai.
Namun prestasi film ini di seksi Pekan Kritikus di Festival Film Cannes, akan membuat mata publik Indonesia mengarah kepada kedua tokoh dalam film ini dan pembuatnya.
Bisakah mereka saling intip dengan bebas tanpa banyak muncul perkara?
Pertamakali terbit di BBC Indonesia: http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/05/160523_majalah_prenjak, 23 Mei 2016.
Leave a Reply