Salah satu film dokumenter yang bicara tentang posisi moral lewat tradisi yang sedang terbangun: internet personality. Kebanyakan kita merasa internet personality hanya semacam permainan lucu yang konsekuensinya tipis-tipis saja. Namun film dokumenter ini melakukan penilaian moral alias moralisasi terhadap internet personality bernama Amina yang punya dampak luas dan dalam.
Ini bisa terjadi karena beberapa hal ini.
Pertama, Amina mengaku sebagai seorang lesbian yang hidup di Suriah di masa rezim Bashar al-Asad. Ia membuka identitasnya, menjadikan dirinya rentan terhadap rezim dan masyarakat Suriah sendiri. Dengan kemampuan bahasa Inggris-nya yang amat baik, ia seakan menjadi juru bicara perlawanan dan jadi ikon yang ditempatkan sedemikian rupa oleh para “penganjur demokrasi “.
Kedua, dengan posisi seperti itu, hidup Amina diletakkan dalam “kerangka” yang mirip dengan tokoh seperti Aung San Suu-Kyi di Myanmar atau Malala di Pakistan. Mereka menjadi suara yang genuine berbicara dengan bahasa lokal mengenai problem defisit demokrasi dan pentingnya perubahan sosial politik. Mereka adalah token yang tumbuh secara organik menyuarakan nilai-nilai “Barat”, seakan menegaskan nilai itu netral dan universal.
Ketiga, universalitas nilai itu jadi dasar bagi penempatan posisi Amina (atau Suu-Kyi atau Malala) untuk “menjadi contoh” bagi masyarakat lain yang dianggap belum mau menjalani perubahan. Mereka harus jadi simbol, jadi pemikir dan juru bicara yang sah mengenai transformasi sosial politik secara global.
Yang unik dari Amina adalah seksualitasnya. Selain juru bicara lain yang ada di Suriah, posisinya sebagainya lesbian juga berpeluang menampilkan sebuah kepolitikan yang lebih radikal: kaitan antara demokratisasi dengan pembebasan represi seksual. Lantaran agama secara alamiah dianggap berada di jantung hati represi politik, maka posisi Amina menjadi simbol perlawanan politik identitas dan demokrasi dalam arti luas.
Dengan posisi seperti ini, profil Amina pun dibuat oleh surat kabar terkemuka macam the Guardian.
Namun bagaimana jika Amina bukan Amina dan ia dibuat hanya untuk bersenang-senang? Bagaimana jika di belakang Amina adalah seorang lelaki Amerika paruh baya yang horny dan memakai figur lesbian sehingga ia bisa melakukan virtual sex dengan seorang perempuan bernama Sandra Bagaria yang mudah tertipu?

Film dokumenter ini memperlihatkan landasan rapuh bagi tokenism seperti itu. Segala langkah peneraan atribut ketertindasan pada karakter Amina jadi berantakan ketika figur itu ternyata rekaan belaka. Daftar yang runtuh itu sebetulnya banyak, tetapi dokumenter ini lebih suka membicarakan konsekuensi dari apa yang dilakukan oleh “Amina” ini.
Sang pembuat film, Sophie Deraspe, menggambarkan, betapa perhatian yang diberikan kepada “Amina” telah membuat dunia Barat teralih dari persoanal dan figur sejati yang seharusnya mereka perhatikan. Lewat kesaksian (dan kemarahan) dari beberapa aktivis Arab Spring di Suriah dan Lebanon, kita mengetahui betapa besar tenaga dan kecemasan yang tertumpah untuk permainan ini. Posisi sang filmmaker jelas: kita diminta menghakimi posisi moral “Amina” yang telah bermain-main dengan soal amat penting demokratisasi politik bertaruh nyawa yang menegaskan universalitas moral Barat.
Konsekuensi lain yang justru menjadi inti pokok film ini adalah kisah asmara Amina. Ia berhasil menipu Sandra sehingga mereka “berpacaran” secara resmi sekalipun keduanya belum pernah bertemu langsung. Amina dalam film ini digambarkan sangat sensual. Bahkan bagi saya film ini mengobyektifikasi Amina sedemikian rupa dengan gambar artistik perempuan telanjang yang kerap muncul sebagai transisi antar sekuen. Terus terang, penggambaran perempuan telanjang ini sangat janggal, seperti hendak menegaskan manipulasi yang dilakukan oleh Amina terhadap korbannya di satu sisi, tetapi di sisi lain terjadi erotisasi dalam karakter dan hubungan kedua orang ini, seakan Sandra tak punya kehendak lain kecuali tunduk sepenuhnya pada posisi-posisi dan peran erotis itu.
Maka yang luput dibicarakan oleh film dokumenter ini justru selective partisanship yang lahir dari tokenism Barat. Sang pembuat film melakukan moralisasi – penghukuman moral – terhadap posisi Amina, dan tidak terhadap media yang telah tanpa periksa menjadikannya pahlawan dan simbol perlawanan. Tentu filmmaker berhak memilih posisi moral mereka terhadap subyeknya, tapi justru itu soal penting dalam film dokumenter (dan sebenarnya juga kritikus), yaitu: tindakan moralisasi juga berlaku bagi mereka dan pilihan-pilihan yang mereka buat.
Moralisasi yang dilakukan oleh pembuat film ini tidak membatalkan integritas film ini, apalagi posisinya sebagai argumen terhadap bahaya internet personality yang dibangun secara sembarangan. Dengan sangat tepat film dokumenter ini memperlihatkan ‘share’ atau ‘like’ yang dilakukan secara pribadi di ruang privat punya dampak publik yang luas, sangat luas.
Yang jadi persoalan bagi saya adalah personalisasi persoalan. Bisa jadi penipuan dalam virtual sex memang penting, tapi ini menyembunyikan soal yang lebih besar yaitu apa sesungguhnya yang membentuk ‘publik’ itu sendiri. Jelas publik dibentuk oleh wacana yang tersirkulasi dan perhatian terhadap wacana itu, dan inilah yang seharusnya mendapat pemeriksaan lebih jauh untuk bisa melongok apa yang membuat masyarakat sekarang ini bekerja.
Leave a Reply