Tahun 2008 saya membaca artikel di harian Kompas yang membahas mengenai penyanyi ini, Amy Winehouse. Ia baru mendapat hadiah Grammy untuk album keduanya, Back to Black. Ketika itu Kompas menampilkan Amy sebagai bagian dari generasi baru yang tak apologetik dan bisa dengan tegas berkata “tidak” ketika diminta untuk menjalankan rehabilitasi, yang tentu berkaitan dengan narkotika dan alkohol.
Artikel itu tidak memuji sikap Amy, semata seperti memberi laporan faktual tentang perspektif dan sikap baru dalam memandang narkotika dan alkohol. Sebuah bentuk kemapanan dan political correctness seperti sedang dipertanyakan, dan musik berada di garda terdepan dalam hal itu.
Apa yang disampaikan tulisan itu tidak sepenuhnya keliru, tapi Asif Kapadia yang menyutradarai film dokumenter ini ingin memperlihatkan bahwa di balik suara bariton dan vokal yang kuat serta lirik berani itu, ada pribadi yang rapuh dan jauh dari bahagia.
Kapadia jelas berpihak pada Amy dan menempatkannya sebagai korban dari keterkenalannya sendiri. Posisi antagonis ada pada ayah Amy, Mitch Winehouse yang mengeksploitasi anaknya dan dikesankan abai terhadap apa yang sesungguhnya jadi aspirasi Amy. Puncaknya adalah ketika Amy, yang sepanjang hidupnya selalu bernyanyi dan menulis lirik lagunya sendiri, kehilangan hasrat bernyanyi dan dari situ kita paham bahwa perjalanan hidup Amy Winehouse akan berakhir tragis.
Meninggalnya Amy Winehouse di umur 27 bisa membuat ia dimasukkan ke dalam kelompok para jenius musik yang wafat di usia itu, seperti Janis Joplin, Jim Morisson, Jimi Hendrix, Kurt Cobain dan Brian Jones, tapi justru itulah soalnya. Kapadia, melalui film dokumenter, seperti sedang berupaya membongkar mitos dengan menyajikan ‘kisah manusia’ di balik idolatry. Namun apakah ia berhasil? Sama seperti Montage of Heck, film dokumenter tentang Kurt Cobain (saya akan tulis juga nanti), upaya melawan mitos dengan “kenyataaan” malah mempertebal dan memperrumit mitos tersebut. Apa yang terlanjur dipercayai jadi mendapat peneguhan, sedangkan bagi yang belum tahu, mitos itu jadi terbentuk. Mungkin karena figur seperti Amy Winehouse terlalu besar untuk masuk kerangka bernama ‘filmnya dokumenter’ yang mengaku diri menampilkan kenyataaan.
Ini memang semacam pergulatan menghadapi mitos, dan bukan sesuatu yang mengejutkan bahwa film dokumenter, seperti halnya fiksi, juga berada di ranah yang sama.
Leave a Reply