Berangkat dari tradisi yang sama dengan Manakamana, film dokumenter ini juga mengandalkan pada efek persepsi sensori dan tema yang bersifat sehari-hari. Namun The Iron Ministry tampaknya tidak menginginkan kata ‘konsisten’ menjadi bagian dari formula yang dipakai dalam menyusun film ini, karena terasa sekali film ini begitu eklektik, campur aduk, baik secara naratif maupun dalam pengambilan dan penyusunan gambar-gambarnya. Terkadang film ini bagai pengamatan yang dalam tanpa dialog, tetapi kadang merekam percakapan yang anekdotal, bahkan sesekali si filmmaker (orang Amerika yang fasih berbahasa Cina) bertanya kepada subyek dalam filmnya bagai seorang wartawan.
Film ini menceritakan perjalanan dengan kereta api di Cina, dibuat dalam waktu 3 tahun dalam berbagai macam kereta dan perjalanan, mulai dari kereta yang kumuh dimana penumpang tidur di lantai hingga kereta mewah dengan penumpang berpakaian mentereng. Snediacki memulai dengan pengambilan gambar berlama-lama (long take), tapi ia seperti tidak sabar sendiri. Kameranya mulai bergerak dan menyapu sekitar, tiba pada benda-benda yang ‘penting’ dalam konteks cerita di atas kereta, seperti daging dan lemak binatang yang dibawa masuk ke dalam kereta, anak kecil yang meniru pengumuman kereta dengan gaya bicara formal (tapi isinya ngawur), hingga percakapan antara penumpang beragama Islam dengan penumpang lain tentang kerukunan beragama di Cina(!). Snediacki ikut serta di dalam narasi sebagai seorang yang mengamati dan bertanya-tanya, seperti sedang mengisi waktu ketika sedang melakukan perjalanan bersama dan merasa bosan karena panjangnya waktu perjalanan. Problem kelas dan komentar sosial politik muncul juga dalam berbagai adegan semisal penggambaran kereta mewah, perbandingan gerbong restorasi, dan juga percakapan para pemuda tentang reformasi di Cina dan keinginan untuk beremigrasi karena problem lingkungan hidup yang parah.
Dengan gaya yang sulit terumuskan ini, Sniadecki seperti sedang merumuskan ulang esensi mengenai apa yang dianggap “sinematik” dalam film dokumenter. Ia tak seperti Flaherty yang berlaku sebagai seorang petualang mengunjungi bangsa terpencil, eksotis dan menyajikannya dengan cara mengklaim bahwa yang direkamnya adalah faktual. Ia juga tidak mengusahakan representasi lengkap tentang Cina kontemporer lewat filmnya. Bagi saya, ia sedang memperlihatkan bahwa proses perekaman dan penyuntingan pada film dokumenter mungkin hanya bisa mencapai pemahaman yang bersifat keseharian dan hanya bisa dipersepsikan secara terbatas. Serupa belaka dengan pengalaman seorang penumpang kereta juga terbatas dan tidak konsisten.
Leave a Reply