Ini percakapan saya dengan Faozan Rizal alias Pao seputar film Yasujiro Journey ini:

Pao: Saya mau bikin film panjangnya 62 menit, tapi yang pentingyna cuma menit pertama dan menit terakhir. Di tengah-tengah, penonton boleh pulang melakukan hal yang lebih penting dalam hidup mereka. Boleh makan, boleh sholat, terserahlah!

Saya: emangnya ada film begitu?

Pao: di menit pertama, ada caption: “Di tahun 1942, seorang pilot pesawat tempur Zero Jepang jatuh di gunung Bromo. Pilotnya, Yasujiro Yamada, selamat tapi tak pernah ditemukan. ” Lalu diujung film ada caption lagi “Enampuluh tahun kemudian, cucu si pilot, Yasujiro Yamada mencari kakeknya ke gunung Bromo. Ia juga menghilang dan tak pernah ditemukan”. Jadi yang penting cuma di awal dan di akhir film.

Saya paham bahwa omongan itu bercanda karena film Yasujiro Journey ini tentu saja penting untuk diikuti dari awal sampai akhir. Tapi begitulah sikap Faozan Rizal terhadap sinema: sinema tak lebih penting ketimbang hidup itu sendiri. Yasujiro Journey sendiri sempat diputar di Pusan tahun 2005, dan menjadi bagian dari sebuah seksi yang ganjil di Singapore International Film Festival yang diberi tajuk Unofficial Retrospective of Faozan Rizal. Ternyata film ini tetap dianggap penting oleh orang lain, tak seperti candaan Pao di awal itu.

Premis cerita film ini memang terletak di caption di awal dan akhir itu, tetapi apa yang terjadi hingga membentuk durasi 48 menit film ini (tidak jadi 62 menit seperti yang direncanakan semula), bagi saya adalah kekuatan sinema dalam menciptakan misteri yang terus tinggal di benak penonton jauh sesudah film ini selesai disaksikan. Faozan Rizal berangkat dari premis visual yang sama dengan sutradara yang dikaguminya, Yasujiro Ozu (darimana nama Yasujiro itu ia dapat) yaitu bahwa apa yang terjadi di luar layar sama pentingnya dengan apa yang terjadi di layar. Maka Yasujiro Journey dipenuhi oleh gambar-gambar yang diambil dalam waktu panjang hingga subyek-subyek di dalamnya seakan bicara tentang apa yang tidak tampak di layar. Saya menikmati sekali proses ini.

Saya paham tak semua menikmati proses seperti ini dan memandangi Nobuyuki Suzuki sebagai Yasujiro Yamada mencari apa yang sejak semula tak ada adalah kegiatan yang sia-sia. Lebih dari separuh penonton film ini keluar ketika ia dputar di Jiffest tahun 2005. Saya tak akan terlalu menyalahkan mereka. Namun saya sendiri amat terkesan pada film ini, terutama pada perkembangan “pencarian” Yasujiro sepanjang film, terutama pada adegan ketika ia tiba di tepi danau. Sikapnya berubah seakan siap untuk menemukan sesuatu di dalam danau itu. Suara-suara bisikan entah darimana itu juga memberi kesan bahwa ia seperti sedang memasuki dimensi lain pencariannya. Seperti halnya saya tergerak oleh kemampuan Edwin menyusun elemen visual pada film-filmnya, Yasujiro Journey bahkan telah mengajak saya ke tingkat lebih jauh: memberi saya misteri dan pertanyaan yang mendalam tentang manusia dan pencarian dalam hidupnya.

Hingga kini Pao bekerja menjadi penata kamera untuk film-film layar lebar. Ia banyak bekerjasama dengan Hanung Bramantyo dan telah menghasilkan banyak film. Dari penghasilannya di film, ia mengumpulkan uang untuk syuting film-filmnya. Jika film komersial yang mencari untung saja sulit mendapat investor, terbayang pula kesulitan untuk film-film semacam Yasujiro Journey ini.

Maka hingga kini belum banyak film yang ia hasilkan sebagai sutradara. Ia sudah membuat beberapa karya lain: Aries dan Fugu yang ia jadikan sebagai bagian trilogi, bersama-sama dengan Yasujiro Journey ini. Kini ia sedang merekam Opera (Tanpa) Soekarno, sebuah karya eksperimental yang menceritakan penggalan akhir hidup Soekarno.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: