“Satu!”, berkali-kali si Q-Bong mengulang signposting ini dan tidak beralih ke angka “dua!”, pertanda ada yang keliru dengan cara kerja otaknya. Ia sedang mabuk, dan mewawancara orang mabuk bukanlah sebuah standar kerja jurnalisme yang baik. Dalam standar kerja wartawan, narasumber harus sadar, sehingga apa yang dikatakannya (jika punya implikasi hukum) bisa ia pertanggungjawabkan. Dengan cepat kita sadar beda terbesar antara sebuah film (atau video) dokumenter dengan kerja jurnalistik pada karya Dessy Darmayanti ini. Karya Dessy sama sekali tak memerlukan verifikasi dan tak juga berkeinginan menjadi cermin bagi keadaan masyarakat. Kerja film dokumenter paling dasar adalah ini: merekam!

Apa yang direkam oleh Dessy adalah sebuah peristiwa sehari-hari dan “biasa”. Tak diperlihatkan sama sekali kenapa Q-Bong harus direkam dan rekaman itu disajikan kepada kita, penonton.Penyajian Q-Bong bukan untuk mencapai keterwakilan masyarakat.  Ia ditampilkan lebih mirip dengan ilustrasi. Ilustrasi apa? Gaya hidup? Sebuah sub-kultur? Saya memilih untuk tak repot-repot menjelaskannya, lebih suka apabila melihat bagaiman Dessy melakukan perekaman.

Bagi saya, karya ini adalah sebuah penghampiran tanpa pretensi yang asyik dan menyenangkan. Dessy tidak menyembunyikan dirinya sebagai ‘orang luar’ yang datang ke “komunitas” penongkrongan di depan Circle K itu dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang “budaya minum minuman keras” yang biasa dilakukan oleh Q-Bong dan teman-temannya. Tidak ada teori yang rumit atau pendalaman psikologis atau mantra-mantra lain semacam itu. Ini adalah sebuah penghampiran sederhana terhadap apa yang dilihat di tepi jalan dengan rasa penasaran dan ingin tahu yang akhirnya membuat seseorang mengambil kamera dan merekam yang ada di sekitarnya. Sebuah sikap yang pernah direkam oleh sebuah cerita pendek Lupus berjudul “Things are Better Left Unsaid“.

Terus terang saja, dengan kekuatan utama perekaman yang nyaris spontan seperti ini, tak ada kedalaman, tak ada pemahaman terlalu jauh. Karya ini sketsa saja, berisi pernyataan-pernyataan yang performatif, tak bisa pula diujikan: apa benar Q-Bong tak main drugs, misalnya? Bisa saja video dokumenter ini jadi menarik lantaran sifat curiosity cabinet alias keantikan tokoh Q-Bong dalam memberikan jawaban-jawaban. Bisa jadi kita masih menertawakan sesuatu yang “asing” dalam karya ini.

Namun sikap tulus Dessy dalam merekam membuat kita paham bahwa menertawakan keasingan tak selalu dosa. Dunia ini terlalu rumit untuk dipahami dengan satu cara saja dan memang ada cara lain untuk memahaminya. Tak perlulah kita ngotot mengubahnya, bahkan tak perlu juga berkeras bahwa kita akan selalu paham cara hidup orang lain, karena jangan-jangan kemampuan kita memahami juga punya batas. Maka ketulusan sikap seperti yang ditampilkan seperti video ini saja jangan-jangan sudah bisa menyelamatkan banyak nyawa dalam keadaan kehidupan bersama kita sekarang ini.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: