Ketika Hutan Kata Digunduli
Kota adalah hutan kata, kata Goenawan Mohammad dalam salah satu eseinya di kumpulan Catatan Pinggir. Kota selalu riuh rendah, sekalipun bisa demikian sunyi bagi para penghuninya. Riuh rendahnya kota kerap begitu impersonal, dingin dan faktual. Berbagai macam tanda hadir tanpa diminta. Penghindaran adalah sia-sia, karena ruang tak memungkinkan adanya wahana steril bagi individu. Bahkan untuk sebuah tidur nyenyak saja, seorang pendatang baru di Jakarta bisa dibangunkan di pagi buta oleh azan subuh lewat pengeras suara yang tak pernah dimintanya.
Kota memberikan banyak pilihan, mungkin tepatnya undangan. Lewat berbagai cara kota menawarkan bujuk rayu dalam berbagai cara. Mulai dari azan subuh sakral yang menjanjikan kebahagiaan surgawi, hingga perempuan cantik setengah atau sepertiga telanjang untuk berjualan sebatang sabun mandi.
Juga kata: kota dipenuhi oleh kata. Kata bertebaran di sekeliling kota, tak peduli dimana saja. Cobalah keluar ruangan, dan tengok di sekitar kita. Mulai dari reklame nyaris sebesar lapangan bola hingga tulisan Bu Gito dan nomer telepon ditempel pokok pohon. Kota tak pernah bebas dari hal semacam itu. Maka kota adalah hutan kata. Dan ketika bicara Jakarta, hutan itu adalah hutan perawan yang tak tersentuh.
Selama sekitar dua menit sepuluh detik, Ari Satria Darma menghadirkan hutan kata itu dalam film pendeknya, Iqra. Ia mewakilkan pada jalan Bendungan Hilir, sebuah ruas jalan yang mungkin paling eksotis yang mewakili Jakarta. Eksotisme Bendungan Hilir bukan berasal dari gambaran perpaduan sisa-sisa kolonialisme dengan perkembangan jalan modern seperti jalan-jalan di daerah kota. Ia juga bukan jalan yang mewakili kemiskinan akut persoalan-persoalan populasi semisal jalan di kawasan Galur, Jakarta Pusat. Bendungan Hilir adalah sebuah jalan yang mewakili eksotisme lain: setiap kota besar punya ketiaknya.
Jalan Bendungan Hilir muncul di film Eliana, eliana (Riri Riza, 2002) sebagai sebuah dareah persinggahan tempat Bunda dan Eliana makan malam. Di jalan itu, Bunda ditawari majalah oleh pedagang dengan setengah memaksa. Jalan Bendungan Hilir pada malam hari adalah jalan ketika emperan jalan ditutup dan para pedagang mengambil alih. Di siang hari, ia adalah sebuah tempat di mana para pekerja kantoran di sepanjang jalan jenderal Sudirman memenuhi kebutuhan makan siang mereka. Tak mungkin Jakarta bisa bertahan tanpa jalan semacam Bendungan Hilir.
Eksotisme jalan itu hadir dalam film pendek ini dalam bentuk demikian banyak dan beragamnya reklame di jalan itu dalam berbagai bentuk. Mulai dari papan nama toko alat elektronik yang berukuran raksasa, hingga tulisan di gerobak dorong milik pedagang-pedagang kecil. Semuanya adalah wakil riuh rendah yang eksotis dan berjarak itu.
Yang paling menarik dari eksotisme Ari adalah bahwa ia tak berhenti di situ. Ia melihat semua ini dengan jarak yang diperlukan dan kemudian melakukan subversi terhadapnya. Ia menggunduli satu demi satu huruf-huruf beraneka jenis dan bermacam ukuran itu. Satu demi satu huruf-huruf itu rontok dari tempatnya. Mereka tak berbekas. Hilang. Hutan kata itu pun gundul.
Subversi ini dilakukan oleh Ari dengan indah. Teknik animasi yang digunakannya demikian halus, dan ia mampu menciptakan dramatisasi dari penggundulan itu. Ia mulai dengan tulisan-tulisan yang relatif besar sebelum akhirnya ia juga menggunduli tulisan-tulisan yang lebih kecil. Lihat juga bagaimana ikan-ikan berubah “hidup”. Benar-benar sebuah animasi yang sesungguhnya: menghidupkan sesuatu dari yang mati.
Ia tak berhenti pada simbol-simbol kapitalisme seperti yang terawakili oleh merek-merek besar barang elektronik atau studio foto, tapi ia meneruskannya ke gerobak pedagang soto. Ia memang tak sedang meromantisir subversinya ini menjadi perlawanan terhadap simbolisasi. Karena jika demikian, ia akan jatuh pada simbolisasi baru yang bisa jadi sama sia-sianya. Ini hanya sebuah usulan. Kenapa tak memenangkan keheningan barang sejenak?
Setelah hutan kata gundul di kota seperti Jakarta, maka: bacalah!
Leave a Reply