
Anak perempuan itu bernama Kara. Mungkin sepuluh tahun umurnya. Ia masuk ke restoran McDonald dengan membawa parang dan dendam. Ia pandangi sejenak patung Ronald McDonald yang sedang duduk, sebelum ia bacokkan parang majal di tangannya. Seorang petugas yang sedang mengawal ulang tahun anak-anak melihat polah Kara. Petugas itu tak menghentikan. Kara yang kelelahan malah diberi segelas minuman. Ia terkulai lesu di sisi patung yang selalu tersenyum lebar mirip dengan tokoh Joker yang diperankan Jack Nicholson di film Batman garapan Tim Burton itu.
Potongan adegan itu berasal dari film pendek Edwin yang terkenal,Kara, Anak Sebatang Pohon. Film berdurasi 9 menit ini berhasil lolos seleksi untuk diputar di seksi Director’s Forthnight di Festival Film Cannes, Perancis. Keberhasilan Edwin ini membawa namanya diperhitungkan sebagai salah satu pembuat film berbakat di negeri ini. John Badalu, direktur Q Film Festival dan programmer film, memasukkan Edwin sebagai salah satu sutradara muda berbakat Asia Tenggara dalam tulisannya di buku Kandang dan Gelanggang, Sinema Asia Tenggara Kontemporer (Jakarta, 2007). Dari keempat film pendek yang sudah dibuatnya, nama Edwin sudah banyak disebut, paling tidak di kawasan Asia Tenggara dan beberapa festival terkemuka di Asia.
Edwin lahir pada tahun 1978 di Surabaya. Ia seorang keturunan Cina, dan itu menjadi soal besar baginya. Dalam film panjang pertamanya, Babi Buta yang Ingin Terbang (selanjutnya akan disebut Babi Buta saja), ia mengambil tema sensitif itu. “Ini soal identitas,” kata Edwin dalam sebuah percakapan dengan saya pada akhir bulan Agustus 2007. Padahal Edwin membuat film itu dengan bayangan di kepala bahwa mungkin saja Babi Buta merupakan satu-satunya film panjang yang bisa ia buat. Keterbatasan modal membuat ia belum membayangkan apakah ia akan mampu membuat film panjang lagi nanti. Betapa pentingnya tema itu baginya, sehingga kemungkinan kesempatan tunggal itu ia gunakan untuk mengungkapkan mengenai soal identitas ini.
Babi Buta dibuat oleh Edwin dengan bergerilya. Dengan modal seadanya, ia berhasil menyelesaikan film itu. Kini Babi Buta sudah diputar sesekali di sana sini dalam pertunjukan khusus. Film ini menjadi salah satu film yang paling ditunggu di tahun 2008 oleh paraprogrammer festival film di berbagai negara Asia. Mungkin kita akan bisa menyaksikannya di pertunjukan-pertunjukan khusus dan bukan di bioskop komersial.
Sementara itu, Edwin sudah menyelesaikan empat film pendek. Film-film ini sudah beredar di berbagai festival dan jadi bahan pembicaraan di festival-festival tersebut. Keempat film itu adalah: A Very Slow Breakfast (2003), Dajang Soembi Perempoean Jang Dikawini Andjing(2004), Kara, Anak Sebatang Pohon (2005) dan A Very Boring Conversation (2006). Sambil menantikan Babi Buta, mari kita lihat keempat film pendek Edwin.
Keluarga
Keempat film pendek Edwin mengambil tema atau terjadi pada lokus sentral: keluarga. Keluarga dalam film Edwin tak pernah sempurna. Keluarga sama sekali jauh dari konsep yang diasumsikan ideal yang kita pikirkan selama ini. Pertama, keluarga ideal identik dengan bentuk tertentu. Bicara keluarga di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sosialisasi intensif di masa Orde Baru tentang keluarga ideal: ayah-ibu dan dua anak (laki-laki dan perempuan sama saja, yang penting kasih sayang. Ingat kampanye ini?). Hal ini berada dalam kepala banyak orang Indonesia dan relatif belakangan saja orang tua tunggal lebih banyak muncul dalam film Indonesia (lihat tulisan saya, “Single Parent dalam Sinema Indonesia” di harianKompas, 29 Mei 2005).
Kedua, keluarga ideal diasumsikan menjalankan komunikasi yang baik dan penuh saling pemahaman. Keluarga selalu berkumpul di momen-momen tertentu seperti sarapan atau makan malam dan di kegiatan bersama itu mereka berbincang dari hati ke hati, bercengkerama dan bersenda gurau untuk membangun saling paham sesama mereka. Faktor kegagalan komunikasi dan membangun harmoni inilah yang menjadi pusat perhatian Edwin dalam film-filmnya.
Bentuk keluarga tak ideal ada pada Kara, Anak Sebatang Pohon. Kara adalah anak sebatang kara yang ibunya mati (dibunuh?) tertimpa patung Ronald McDonald. Demikian pula padaAVery Boring Conversation, keluarga hanya terdiri dari ibu dan anak perempuan yang tinggal berjauhan. Ketika keluarga tampil dalam bentuk utuh: ayah+ibu+anak, pastilah keluarga itu bermasalah. Pada Dajang Soembi, Perempoean Jang Dikawini Andjing, sang ayah adalah seekor anjing dan hal itu menjadi pangkal tragedi dalam film. sedangkan pada A Very Slow Breakfast, keluarga memang utuh dalam bentuk, tapi komunikasi mereka adalah semacam mimpi buruk.
Dunia yang penuh tekanan
Pada A Very Slow Breakfast (selanjutnya disebut Breakfast saja). Keluarga memang terdiri dari ayah-ibu dan anak, tetapi komunikasi mereka bagai mimpi buruk. Masing-masing mereka bagai memakai selubung gelap yang tak mungkin dimasuki oleh yang lain. Mekanisme rutin seperti sarapan menjadi siksaaan satu sama lain karena terasa sangat menghimpit dada.
Edwin tampak seperti ingin membagikan pengalaman yang menyakitkan tentang keluarga dalam film pendek pertamanya ini. Pada pagi hari seperti itu, tak tampak cahaya matahari. Ruangan temaram karena terhalangi oleh bidang miring seperti tangga yang memakan porsi besar dari layar film. Apapun bidang miring itu, ia memberi tekanan sangat besar pada keluarga dalam Breakfast. Tekanan ini demikian besarnya hingga membuat anggota keluarga sarapan dengan posisi badan membungkuk. Kecerahan pagi hari di waktu sarapan adalah nonsens besar!
Juga suara. Suara sebagai wakil komunikasi verbal dalam keluarga tak pernah ada. Karena ruangan diisi oleh suara sayup-sayup dari TV yang menyiarkan acara kebugaran. Suara itu begitu asing dan seakan berasal dari dunia lain. Namun sang ibu mengikutinya dengan patuh dan hikmat bagai sedang melakukan sebuah ritual suci. Dan suara pagi adalah dominasi sebuah dunia lain yang masuk tanpa ijin dan memisahkan anggota keluarga dalam selubungnya masing-masing. Dengan cerdas Edwin menggunakan suara sebagai pemisah antara dua dunia yang sama sekali berbeda: dunia perempuan (menjaga tubuh dan berolah raga) dan dunia laki-laki (jorok dan tak sehat: merokok di pagi hari).
Di film ini, Edwin seperti sedang berada di sebuah sudut yang diam dan menangis. Ia seakan sedang membagi luka yang dalam yang tak bisa ia katakan dan hanya bisa dibagikan. Tak ada dialog dalam Breakfast, seakan film ini memendam rasa marah, dendam, dan tangisan diam-diam. Sekalipun dalam sebuah bentuk keluarga yang utuh (ayah+ibu+anak), komunikasi di dalam keluarga terasa menyakitkan. Dunia mereka saling terpisah dan saling tak peduli. Jika ada interaksi antar mereka, maka itu menyangkut soal uang. Maka itulah tampaknya dunia dalam Breakfast menjadi sangat menyakitkan.
Keluarga adalah kesalahan
Keluarga sebetulnya tampil lebih kelam pada film pendek kedua Edwin, Dajang Soembi: Perempoean yang Dikawini Andjing (selanjutnya disebut Dajang Soembi saja). Film yang skenarionya ditulis oleh Daud Sumolang ini dibuat dengan format film bisu hitam putih. Film disyut dengan kecepatan rendah sehingga gerakan dalam film itu terpatah-patah, mirip film seperti era film bisu. Inter-title atau teks di sela-sela gambar mengantarkan cerita dengan musik di seluruh tubuh film. Pada Jiffest 2005, film ini diputar dengan pertunjukan musik livesebagaimana pertunjukan film pada masa film bisu.
Cerita legenda Sangkuriang pada Dajang Soembi sendiri sudah menyediakan stok untuk mempertanyakan konsep keluarga. Bayangkan bahwa sebuah keluarga dibentuk oleh ibu dan anak manusia tapi dengan ayah seekor anjing. Maka film ini memang memungkinkan Edwin untuk menghadirkan sebuah logika keluarga yang bukan sekadar tak konvensional tapi menimbulkan pertanyaan subversif. Ia bertanya tentang asal-usul pembentukan keluarga dan tentu saja kemudian konsekuensinya.
Bayangkan bahwa keluarga ini adalah sebuah keluarga hasil bestiality. Maka hubungan di dalamnya menjadi demikian aneh. Anak lelaki bernama Sangkoeriang itu jatuh cinta dan suka secara seksual pada ibunya. Sang ayah, anjing itu, mencoba mengantar anak lelakinya pada sebuah ritus pasasi. Tapi di tengah jalan, sang anak melihat perselingkuhan. Anjing itu tertarik pada seekor babi betina. Maka ketika pembunuhan terjadi, itu adalah turunan dari asal-usul pembentukan keluarga: bestiality tadi.
Alangkah celakanya keluarga dalam film ini, dan Edwin menghadirkan teror yang tak tanggung-tanggung. Pernyataannya demikian kerasnya sehingga ia menjadi seperti sedang berteriak. Keluarga bukan sekadar nonsens tapi malahan salah sama sekali. Ia sudah keliru sejak pembentukannya. Tanpa kejijikan, ia menyajikan semacam kanibalisme yang menakutkan di akhir cerita. Kehalusan perasaan dan ketersudutan Edwin akibat luka yang ia tampilkan pada Breakfast hilang di Dajang Soembi; dan yang tampil adalah kemarahan yang naif dan agak buas. Nasib keluarga masih sama: celaka. Dengan mengikuti logika ceritaDajang Soembi, maka ignorance tokoh Dajang Soembi yang sembarangan mengucapkan sumpahlah yang berbuah pada konsekuensi semacam ini.
Kapitalisme?
Pada Kara, Anak Sebatang Pohon (selanjutnya disebut Kara saja), keluarga pun secelaka itu, dalam bentuk yang berbeda sama sekali. Keluarga adalah semacam impian tentang dua orang memadu kasih di tepi sebuah danau. Pemandangan begitu indah dan tawa di mana-mana. Langit cerah, rumput hijau dan senyum sepasang manusia di dalamnya bagai menggambarkan bahwa ada kualitas imortal pada keindahan yang terkandung pada keluarga.
Sampai tragedi itu terjadi. Kelahiran sang anak adalah kematian bagi ibu. Ada campur tangan sesuatu yang ilahiah –dari atas– yang bernama Ronald McDonald. Salah satu ikon terbesar kapitalisme itu hadir dalam keluarga itu dengan demikian memaksa. Bahkan di taman surgawi demikian, senyum palsu Ronald McDonald yang khas mendatangkan kematian bagi keluarga. Tepatnya bagi pemberi kehidupan; bagi ibu.
Edwin menjadi sangat pahit di sini. Ia tak menangis diam-diam di sudut sambil mengalami seperti pada Breakfast, ia tak berteriak marah-marah seperti pada Dajang Soembi, ia berubah faktual pada Kara.
Kara dalam Kara digambarkan terisolasi dari interaksi sosial. Ia hidup dalam sebuah dunia fidausi yang tenang. Namun interaksi sosial Kara bagai tak memberi pilihan. Kamera (media?) yang menempatkan Kara sebagai fokus adalah sebuah gangguan bagi kubah kenyamanan Kara. Gangguan kubah kenyamanan itu membuatnya mempertanyakan kehidupan: sebab keberadaannya di bumi sekaligus pada saat yang sama kematian ibunya. Dan karena ia lahir bersamaan dengan “pembunuhan” ibunya, maka sebuah pembalasan dendam jadi niscaya.
Terhadap apa? Kapitalisme? Edwin memang terlihat marah pada kapitalisme, bahkan ia juga marah pada exposure terhadap sebuah kenangan buruk. Dengan penggambarannya yang demikian faktual, Kara tampak naif bersikap terhadap –katakan namanya adalah– kapitalisme. Apakah kisah hidup Edwin, kebahagiaan masa kecilnya, diinterupsi oleh kapitalisme itu dan ia mendendam serta sadar bahwa dendamnya sia-sia? Apapun itu, dengan antarannya yang naif dan faktual, kesia-siaan pada Kara menjadi istimewa karena keberanian (atau kenaifan?) Edwin bersikap.
Tapi apa yang Edwin bisalakukan di depan kapitalisme? Bagai Kara, ia pun harus lunglai karena tak ada yang berubah. Bagai filsafat eksistensialisme, Kara menawarkan nihilisme pada tingkat subteks-nya. Buat apa cerita macam mitos Sisifus dibuat jika cerita itu sendiri bagai batu berguling lagi ke kaki gunung? Atau pada kasus Kara, yaitu ketika keluarga firdausi abadi itu merupakan bagian sebuah siklus kehidupanyang akan berulang?
Dunia yang bekerjap
Edwin tampak melonggarkan sikapnya pada AVery Boring Conversation (selanjutnya disebutConversation saja). Ia masih bermain dalam sebuah keluarga. Kali ini, keluarga dalam bentuk orang tua tunggal. Kisahnya adalah Eva, seorang ibu paruh baya, dan anaknya yang berada di luar negeri. Pacar sang anak membantu Eva untuk membuka alamat email di http://www.yahoo. com, agar Eva lebih mudah berkomunikasi dengan anaknya. Terjadilah percakapan yang sangat membosankan.
Percakapan itu adalah tentang identitas. Sebagaimana lazimnya membuka sebuah alamat email baru, Eva diminta mengisi data pribadi. Alangkah membosankannya memenuhi keharusan seperti itu, karena sesungguhnya siapa yang membutuhkan data pribadi dalam sebuah dunia maya? Atau, siapa yang sebenarnya gembira melakukannya? Edwin sedang bicara tentang sebuah dunia baru, dunia yang tak mudah dikenali oleh sebuah generasi seperti Eva. Memudahkan? Tampaknya bukan itu soalnya karena Edwin membawa Eva dan penonton memasuki sebuah dimensi baru.
Perempuan paruh baya dan laki-laki muda itu asik mengisi formulir data pribadi si perempuan sampai akhirnya lampu ruang tempat mereka bekerja tiba-tiba berulah. Lampu itu mengerjap-ngerjap. Terus demikian sampai tiba-tiba percakapan itu berubah. Percakapan mereka terasa jauh seakan mereka sedang berada di sebuah ruang yang lain, dunia yang lain, dunia entah apa.
Percakapan itu kehilangan aspek riilnya. Lalu hubungan Eva dan calon menantunya bertransformasi. Jadi apa? Entahlah. Edwin menyiratkan adanya semacam keintiman di sana. Ajakan Eva agar si lelaki kembali lagi membantunya dengan email terlalu tendensius untuk ditafsirkan sebagai fakta kering. Apakah Edwin sedang berbicara tentang semacam penabrakan tabu seksual?
Conversation terkesan main-main dengan keluarga. Edwin tampak nakal memandang hal-hal yang menjadi konstituen keluarga. Bentuk keluarga memang tak sempurna, dan komunikasi di dalamnya terasa aneh dan berjarak dengan kenyataan. Namun Edwin bercanda dengan itu semua, dan melepaskan kemarahan atau luka yang mendalam atau nihilisme pada film pendek keempatnya ini.
Apakah ada tekanan yang diangkat pada Conversation? Apakah karena Conversation terjadi dalam sebuah realitas yang bekerjap-kerjap antara nyata dan tidak? Inilah sebuah dunia dengan kemungkinan bermain-main, karena dalam Conversation, indetitas adalah semacam isian di formulir pendaftaran ketika membuka alamat email. Adakah dunia virtual membebaskan? Bisa jadi Edwin sedang melihat sebuah kemungkinan yang lain sama sekali dari karya-karyanya sebelumnya.
Apakah keluarga masih relevan?
Dengan keempat film pendeknya ini sesungguhnya Edwin sedang membuat daftar pertanyaan tentang relevansi keluarga dalam konteks memberi kebahagiaan bagi para anggotanya. Ia memang tampak tak menjadikan kebahagiaan itu sebagai imperatif dalam keempat film pendeknya ini, tetapi itulah implikasi dari gambaran yang ia hadirkan. Keluarga dalam film-film Edwin memang terlalu besar perannya dalam memberikan kepahitan hidup; atau seluruh kepahitan hidup berangkat dari sebuah lokus yang bernama keluarga.
Edwin memang tak menarik persoalan ini lebih jauh ke konteks sosial atau konteks politik secara sengaja, kecuali pada Kara yang pernyataannya sangat keras terhadap sebuah ikon ekonomi-politik tertentu. Namun sesungguhnya dengan meletakkan katalog yang diberikan Edwin dalam konteks kehidupan bersama, bisa saja kita bertanya: apakah keluarga relevan bagi kehidupan bersama ketika ia sudah gagal menghasilkan individu-individu yang baik?
Jika kita meminjam pertanyaan-pertanyaan Edwin ini untuk keluarga Indonesia kontemporer, maka sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan sebuah pembalikan keluarga dari ilusi akan konsep keluarga yang harmonis. Jika selama Orde Baru keluarga selalu digambarkan sebagai sebuah lokus ideal penghasil manusia-manusia “Indonesia seutuhnya”, maka dalam film-film Edwin, ilusi itu sedang dibongkar habis-habisan, karenanya ia dipandang sinis atau ditertawai.
Rutinitas keluarga yang membentuk suasana harmoni itu malahan jadi sumber persoalan dalam Breakfast. Dalam Dajang Soembi, pembentukan keluarga sudah keliru sejak semula dan pastilah implikasinya akan mengerikan. Dalam Kara, kapitalisme bahkan bisa menjangkau kehidupan surgawi keluarga dan menghasilkan bencana bernama nihilisme. Sedangkan dalamConversation, keluarga adalah semacam olok-olok di depan sebuah realitas baru: kehidupan virtual. Maka “manusia Indonesia seutuhnya” sebaiknya dilupakan saja jauh-jauh; bahkan istilah itu jika masih digunakan adalah sebuah anakronisme besar-besaran.
Dengan daftar pertanyaan ini, Edwin sedang menyusun sebuah katalog keluarga Indonesia kontemporer. Tentu dari sebuah sudut pandang yang sangat personal. Meskipun demikian, pertanyaan-pertanyaan Edwin ini menjadi relevan terhadap konsep keluarga dan segala persoalan yang melingkupinya. Ia seperti sedang membuka sebuah kotak Pandora bagi sebuah institusi dasar yang masih terus dipercaya oleh bangsa Indonesia saat ini.
Inilah sebuah personal filmmaking yang mengejutkan. Keberanian Edwin dalam membuka kotak Pandora dirinya sendiri sesungguhnya telah turut juga membawa pertanyaan besar bagi bersama.
Leave a Reply