Yang Muda Yang Melawan Lupa

Written in

by

Mungkin rekan saya Hikmat Darmawan benar ketika ia menulis bahwa dibutuhkan waktu 10 tahun agar sebuah trauma bisa diceritakan kembali dengan cukup tenang. Hikmat menyatakan ini untuk resensi film May (Viva Westi), film yang menceritakan kembali peristiwa Mei 1998 dan akibatnya bagi bangsa ini dan juga bagi sepasang kekasih beda etnis. Ketika melihat peristiwa itu secara berjarak – dari segi waktu – May mampu menatap lama-lama sebuah luka bangsa yang belum sepenuhnya sembuh.

98.08, Antologi 10 Tahun Reformasi , membicarakan hal serupa dengan May. Mungkin bukan kebetulan pula ia terbit di tahun yang sama dengan May. Sepuluh orang pembuat film muda mengumpulkan film-film pendek mereka membicarakan peristiwa penting yang membuat bangsa ini melakukan belokan politik besar.

Mei 1998 merupakan peristiwa yang baru lewat, dan belum punya versi “resmi”. Banyak orang masih bisa memberi kesaksian apa yang sesungguhnya terjadi. Orang-orang seperti Wiranto, BJ Habibie, Prabowo dan Harmoko berombongan membuat catatan versi mereka untuk menempatkan diri mereka sebagai pahlawan (setidaknya bukan penjahat) saat itu, seraya mendapuk kemungkinan berkuasa lagi kini. Jika mereka berkuasa, salah satu versi mereka mungkin bakal jadi versi resmi atas peristiwa penting itu. Seperti kiranya ketika Soeharto berkuasa dan versinya menjadi versi resmi tentang peristiwa yang terjadi sekitar 1965.

Anak-anak muda yang membuat film dalam antologi ini punya versi sendiri yang mungkin tak masuk dalam catatan-catatan yang diterbitkan oleh orang-orang itu. Dalam konteks seperti ini, apa yang dilakukan oleh kelompok yang tergabung dalam Proyek Payung ini adalah sebuah pencatatan kecil yang persepsional tapi penting sebagai versi alternatif atau bahkan sub-versi dari apa yang dicatat oleh para tokoh ”resmi” itu.

Seluruh film pendek di dalam antologi ini merupakan film yang memiliki kekisahan yang (seharusnya) utuh dan tak tergantung pada kerangka tema untuk menunjang narasinya. Namun penyatuan karya-karya ini dalam antologi 98.08 menimbulkan perspektif berbeda dari kekisahan semula film-film pendek ini. Sengaja atau pun tidak, 98.08 hingga saat ini menjadi salah satu persepsi paling utuh tentang Mei 1998 yang tampil ke publik dari generasi yang bukan hanya mengalami, mungkin juga menggerakkannya.

Persepsi ini tampil dalam dimensi beragam. Beberapa cara pandang terasa amat sangat permukaan, bahkan sketsais, dalam memandang peristiwa itu. Beberapa karya mencoba mendekati Peristiwa Mei 1998 sebagai sesuatu yang pesonal dengan cara pandang yang jujur. Satu dua karya membicarakan satu aspek latar belakang dan akibat peristiwa ini sehingga membuka sebuah dimensi yang dalam tentang proses pembentukan bangsa ini, proses yang hingga kini masih jadi pertanyaan besar yang belum terjawab¬. Masa depan juga dibahas oleh antologi ini untuk memberi semacam tutupan (closure) yang menegaskan sikap optimis antologi ini secara keseluruhan.

Sketsa

Jika film ini secara linear dianggap sebagai sebuah buku yang dibaca dari sampul muka, maka sampul muka itu adalah sebuah sketsa. Anggun Priambodo memulai antologi ini dengan bertanya ke lingkungan teman-temannya sebuah pertanyaan: di mana Anda berada pada 13 Mei 1998?

Anggun sedang menampilkan sebuah kenangan kolektif. Siapa yang tidak ingat hari-hari ketika barang-barang di pasar swalayan bisa diambil begitu saja (‘gue pengen ke sana cari kaset Hanson yang baru atau Boyzone’). Siapa yang tak ingat sepeda motor melenggang masuk ke jalan tol dalam kota, atau jalan MH Thamrin yang lengang (di situ banyak tentara, mari berfoto di depan panser). Bahkan, di kota yang jauh seperti Seattle atau Amsterdam, pengalaman kolektif itu sampai juga.

Namun apa yang disampaikan Anggun mirip dengan sebuah sketsa untuk teaser TV yang menemani talk show tentang Mei 1998, ketimbang sebuah karya yang utuh. Rentang narasumbernya tergolong sempit dan jawaban mereka relatif berasal dari orang-orang yang berada “di luar toko” saat penjarahan terjadi. Sebuah representasi yang tidak lengkap –kalau tak ingin dikatakan malas. Hanya saja, Anggun beruntung karena pengalaman kolektif itu masih bisa dikenali dengan baik oleh penonton. Sehingga, kutipan wawancara itu mau tak mau menggema juga dalam pengalaman personal penonton.

Anggun membuat karya dokumenternya ini dengan menampilkan foto demi foto untuk menjadi wakil bagi kisah yang ingin disampaikannya. Tak ada ‘gambar bergerak’ sebagaimana definisi paling sederhana dari ‘moving pictures’. Anggun beruntung karena karyanya dikumpulkan dalam Antologi 98.08 ini. Jika berdiri sendiri, karyanya ini tak mampu menghasilkan kekisahan yang utuh dan hanya menjadi kumpulan fragmen.

Selanjutnya adalah Yang Belum Usai karya Ucu Agustin. Karya dokumenter ini menampilkan perjuangan Sumarsih yang sedang mencari tahu siapa orang yang menembak anaknya, Wawan, dalam peristiwa Semanggi (November 1999). Kisah sang ibu dimulai dari perayaan paskah (yang kesepuluh tanpa Wawan) hingga ke doa sang ibu di makam anaknya. Kekerasan hati dan sikap pantang menyerah disajikan oleh Ucu sebagai fakta yang diharapkan bicara sendiri –dan karenanya memberi drama sendiri bagi penonton.

Ucu berharap terbantu oleh subjek yang direkamnya. Perjuangan seorang ibu dalam mencari kejelasan tentang kematian anaknya pastilah mengandung luapan emosi yang besar –dinyatakan maupun tidak oleh sang subjek. Bertolak dari sini, penonton tentu akan turut terbawa emosi cukup dengan melihat semua ini sebagai fakta kering saja. Namun, seorang pembuat film yang baik tidaklah akan menyandarkan pada asumsi semacam itu. Perspektif yang lebih kaya atau pendalaman dari apa yang tampak di permukaan akan selalu dikejar untuk mendapatkan sesuatu yang lebih ketimbang sekadar dorongan terhadap impuls yang instan.

Karya Ucu ini merupakan pencatatan yang lemah dalam mengajukan perspektif maupun kedalaman. Nyaris tak ada nilai lebih apa pun dari proses Ucu merekam apa yang dialami Ibu Sumarsih. Bahkan nyaris seluruh gambar Ibu Sumarsih adalah gambar yang seakan sedang berpose. Ucu seakan menghadirkan gambar etalase tentang figur ‘pahlawan’ ketimbang menyajikan manusia apa adanya dengan perjuangannya.

Dimensi yang terbuka

Ifa Isfansyah adalah contoh pembuat film yang masuk jauh ke pedalaman. Dalam karya yang sulit dikenali sebagai film Indonesia ini, Ifa menghubungkan samar-samar antara pengalaman seorang anak perempuan berbahasa Cina di Korea, dengan Indonesia –tepatnya dengan peristiwa Mei 1998. Ifa menghubungkan perempuan di Seoul ini dengan voice over siaran berita tentang Indonesia dan percakapan di awal film antara tokoh utama film ini (Huan Guang) dengan petugas imigrasi yang menanyakan asal-usul perempuan muda itu.

Itulah satu-satunya informasi bahwa perempuan muda itu adalah salah satu pelarian dari Indonesia yang ingin melupakan masa lalunya. Anak itu ingin ke Korea, padahal ia tak kenal seorangpun di Korea. Lalu di toko swalayan, perempuan lain yang bisa bahasa Cina menolongnya. Jadilah mereka berteman. Terbukalah jalan mimpi bagi Huan Guang.

Karya ini memang tak bicara langsung soal Mei 1998, tapi jelas sekali bahwa Ifa menginsinuasi momen penting itu. Peristiwa Mei 1998 adalah hilangnya salah satu elemen penting kehidupan: rasa aman. Dan mengaca dari sejarah, hilangnya hal ini sejak dulu menjadi salah satu alasan bagi terjadinya diaspora. Ifa menggambarkan sebuah diaspora-in-the-making. Sebuah masa lalu sedang dilupakan, dan sebuah mimpi (atau eskapisme) sedang dibangun. Ifa tak bicara tentang kenyataan yang akan segera ditemui oleh Guang karena, seperti judul filmnya, Ifa bicara tentang saat matahari terbit, tentang sebuah harapan yang baru saja lahir.

Diaspora Guang ini adalah diaspora aras sekunder, karena ia adalah generasi yang sudah menetap dari sebuah diaspora sebelumnya. Maka konsep Indonesia menjadi sangat cair dalam tingkat-tingkatan diaspora itu dan pelan-pelan mengabur. Ifa mencatat persoalan salah satu ras Asia yang berada pada keadaan transisi yang konstan, dan Indonesia menjadi wilayah persemaian transisi itu. Maka film ini menjadi sebuah pintu masuk bagi pembicaraan mengenai etnis Cina, sebuah agenda yang menyeruak sangat kuat ke permukaan jadi pembicaraan publik sesudah peristiwa Mei 1998 itu terjadi. Ifa berhasil memperlihatkan dengan sangat sensitif bahwa sebuah peristiwa domestik ini mengimplikasikan sebuah identitas kawasan yang lebih luas.

Mimpi Guang beralih ke sebuah fragmen personal lewat karya Otty Widasari, Kemarin. Otty bersama dua sahabatnya, sepasang suami istri Bambang dan Bonita alias Bonet, mengenang apa yang sesungguhnya terjadi pada Mei 1998. Mereka termasuk di antara mahasiswa yang berada di Gedung DPR MPR. Untuk menjatuhkan Soeharto? Menurut Bonet, bukan. Ia ke sana karena urusan asmara. Dan karena Otty pergi ke mamapun Bonet pergi, Otty pun berada di sana; secara tak langsung karena urusan asmara.

Dalam percakapan ini (kamera dengan nakal tak menyembunyikan Bambang yang sedang memegang kamera kedua), Otty tampil jujur dengan memperlihatkan catatan pengeluaran hariannya yang menggambarkan bahwa hidup harus berjalan dengan remeh temeh macam itu. Padahal ia sedang bercerita tentang suatu fase yang dianggap “heroik” oleh narasi-narasi besar dan penjelasan formal tentang gerakan mahasiswa 1998. Hidup memang siklus semacam itu dan percakapan di meja itu adalah sebuah kunjungan ke masa lalu yang akrab dan tak perlu basa-basi.

Teknik perendengan (juxtaposisi) percakapan ketiga orang ini dengan jurnal pengeluaran harian keluarga Otty membuat sebuah pengakuan akan siklus kehidupan yang sejujur-jujurnya itu. Apapun penyebab yang membuat para pelaku peristiwa Mei 1998 berada “di sana pada waktu itu”, toh mereka harus berhadapan dengan kenyataan berupa lajur-lajur catatan pembelian rokok atau ongkos atau belanja ke Hero dan lain-lain “di sini dan saat ini”. Otty berhasil membuat kedua fakta ini saling mengacu dengan dingin dan kuat pada saat yang sama.

Namun kemudian Otty tiba pada sebuah episode yang mengherankan, yaitu ketika ia mengaku bahwa sesungguhnya ia punya perasaan khusus pada Bonet. Otty seperti sedang menawarkan sebuah rahasia terdalamnya kepada penonton yang tak mengenalnya dengan cukup baik. Masihkah ia tulus di sini? Jika ya, untuk apa ketulusan semacam itu dipampang dalam sebuah cerita berdurasi pendek ini dan penonton tak punya waktu dan kesempatan cukup untuk memahami Otty dan persoalannya?

Otty terdengar seperti bercanda, tapi kalimat itu diucapkan menjelang akhir film dan tak lama muncul suami Otty, Hafiz, sambil menggendong anak mereka. Perendengan ini membuat Otty seakan ingin bercerita tentang tragedi pernikahannya, karena Hafiz hingga kini hanyalah bayang-bayang Bonet. Apa hubungan tragedi personal itu dengan peristiwa Mei 1998? Perlukah penonton tahu dalam “pertemuan” pertama mereka dengan Otty dalam durasi yang relatif singkat ini?

Otty mengajukan sebuah risiko besar di mana ia tak bisa menang. Jika ia jujur dengan pengakuan itu, penonton (atau saya) merasa tak siap dan tak membutuhkan informasi tentang tragedi personal sebuah rumah tangga (yang entah sebabnya apa) dalam tontonan singkat tentang peristiwa Mei 1998. Jika Otty tidak jujur, ia menggunakan teknik serupa dengan yang digunakan Tukul Arwana, menyajikan semacam tragedi pribadi sebagai bahan lelucon. Perlukah Otty melakukan hal itu? Bagi saya, rahasia terdalamnya ini bisa dibagikan kepada penonton dalam sebuah karya yang lebih memberi ruang bagi penonton untuk memahami dirinya. Saya yakin Otty masih punya kesempatan lain untuk bicara topik ini.

Dari dimensi personal mengenai peristiwa Mei 1998, film kembali ke sketsa mengenai persoalan identitas –kembali pada etnis Cina. Lewat Sugiharti Halim, Ariani Darmawan membicarakan problem identitas paling permukaan: nama. Ariani bercerita mengenai efektivitas mesin birokrasi masa lalu dalam membatasi kewajaran perkembangan identitas dan upaya asimilasi yang dipaksakan. Yang terjadi adalah semacam dislokasi sosial orang-orang Cina, bahkan dari soal paling luar dari identitas mereka sekalipun.

Untuk itu, Ariani membuat tokoh Sugiharti Halim dalam film ini bicara langsung ke kamera seperti sedang mengajak penonton untuk langsung bicara terus terang tentang subjek ini. Padahal sesungguhnya Sugiharti sedang bicara kepada para lelaki yang sedang diajaknya kencan. Strategi ini membuat film ini seperti sengaja meledek penonton yang sesungguhnya menghindar dari pembicaraan mengenai topik ini, dan Ariani memasabodohi penghindaran itu serta tetap bicara langsung kepada penonton.

Inilah film yang bicara tentang penghadap-hadapan antara negara dengan masyarakat melalui tema yang sederhana. Bisa jadi hal semacam ini bukan milik etnis Cina sendirian. Banyak kelompok etnis dan kepercayaan lain yang mungkin mengalami persoalan serupa. Tapi Peristiwa Mei ‘98 memang seharusnya membuka momentum bagi pembicaraan semacam ini, mengingat etnis Cina tertimpa persoalan yang berkaitan dengan identitas mereka itu. Maka Proyek Payung macam ini memang sudah waktunya.

Pengalaman kolektif yang lain

Lalu kisah mengenai pengalaman kolektif Mei 1998 diulangi lagi oleh Hafiz dalam Bertemu Jen. Namun Hafiz melakukannya dengan sangat berbeda dari apa yang dimulai oleh sketsa Anggun. Ia mengganggu kenyamanan penonton dengan menghadirkan Jen Marais, seorang pelaku teater. Jen bukan seorang sutradara, pemain, atau produser teater. Ia tampak seperti “bukan siapa-siapa” di bidang teater, tapi mengaku “orang teater”. Hafiz mewawancara Jen sambil membawa foto-foto seputar Peristiwa Mei 1998 dan menunjukkan satu demi satu foto itu sambil terus meminta komentar Jen.

Hafiz membuat filmnya dengan mengajukan strategi pemaknaan terhadap peristiwa Mei 1998. Ia seperti ingin memperlihatkan bahwa pemaknaan terhadap peristiwa Mei 1998 adalah sebuah kata kerja yang pendefinisiannya bisa sebanyak orang yang berusaha memaknakannya. Hafiz menggunakan fotografi, teater dan keakraban dengan media audio visual untuk keperluan itu. Hafiz memulai pertanyaannya dengan permainan peran yang sangat akrab dengan dunia teater. Lalu ia berlanjut ke foto-foto yang sebenarnya self-explanatory; dan keluarlah pemaknaan dari mulut Jen: ini peristiwa teater. Sampai kemudian ketika pertanyaan Hafiz mencapai tingkat abstraksi yang lebih tinggi (“lo ada nggak di gambar itu, sebagai manusia?”), pemaknaan menjadi lebih sulit.

Karya Hafiz ini menawarkan sebuah sub-versi terhadap versi resmi (yang belum ada) tentang peristiwa Mei 1998. Ketimbang memberi sebuah alternatif pandangan, Hafiz mengajukan preposisi bahwa peristiwa besar itu seharusnya dilihat sebagai sebuah proses negosiasi antar subjek dalam mendefinisikan apa yang sesungguhnya terjadi.

Jangan lupa bahwa ada medium yang mengantarai (yang beberapa diantaranya mendominasi karena massifnya paparan medium itu) yang membuat pendefinisian itu menjadi tak mungkin. Maka Hafiz seakan mengusulkan agar peristiwa kolektif itu tetap tinggal di benak individu sebagai pengalaman personal yang tak membutuhkan adanya otorisasi apa pun dari siapa pun. Sebuah pembacaan sejarah sebagai subjek yang sangat cair dan tak pernah tetap.

Dunia posmodernisme Hafiz ini ditantang dengan sangat baik oleh Lucky Kuswandi lewat A Letter to Unprotected Memories. Ia memperlihatkan bahwa persoalan identitas dan pemaknaan terhadapnya adalah sesuatu yang kongkret. Orang-orang yang terpisah dari masa lalu, sejarah, dan bahasanya adalah orang-orang yang merana karena seakan tak pernah bisa punya tempat di tanah tempat ia berpijak. Memang Lucky tidak mengacu pada peristiwa khusus pada bulan Mei 1998, tapi paparannya tentang pemaknaan peristiwa bukan sekadar permainan subjektif. Ada sesuatu yang hilang dari genggaman, bagi Lucky.

Lucky mendadarkan masalah ini lewat aksara Cina dan kekisahan dengan model surat seakan sedang berkomunikasi satu arah. Dengan strategi ini, Lucky seperti memperlihatkan bahwa ia tak yakin komunikasi itu bisa sampai, sehingga ia memilih bicara satu arah – seakan sebuah solilokui yang bisa membuat orang-orang yang tak merasa punya kepedulian pada masalah ini akan mengantuk dengan pesannya.

Orang-orang Cina di Indonesia telah menumbuhkan akar di bawah telapak kaki mereka di tanah bernama Indonesia dan mereka seakan berada di luar catatan sejarah resmi. Dengan film ini, Lucky memang masih mengandaikan adanya sejarah resmi, karena ia merasa bahwa strategi yang berada di luar itu akan mengakibatkan mereka kehilangan semangat hidup mereka, seperti tarian naga barongsai yang kehilangan entakan dan berubah menjadi gerakan slow-motion yang berpeluang pelan-pelan hilang.

Dengan agenda pembicaraan seperti ini, Lucky juga mengantarkan strategi visual yang amat baik. Ia menampilkan aksara Cina berselang-seling dengan berbagai gambar ikonik budaya Cina di Indonesia untuk meyakinkan bahwa apa yang dianggap sebagai strategi pemaknaan inter-subjektif oleh Hafiz, bermakna hilangnya kenangan yang tak pernah terlindungi. Lucky justru bercerita bahwa sejarah dibentuk dengan cara yang keras dalam penyingkiran, pembungkaman, dan proses pelupaan.

Pada bagian ini, film sudah masuk ke dimensi yang lebih dalam ketimbang persoalan Peristiwa Mei 1998. Pada bagian ini, antologi ini masuk ke pembicaraan mengenai sebuah penafsiran tentang tata panggung sosial yang secara langsung ataupun tidak berkaitan dengan peristiwa sepuluh tahun lalu. Sebuah penafsiran personal yang luar biasa dari Lucky.

Luka

Kisah berlanjut ke dimensi yang lebih dalam lagi dari persoalan akar identitas seperti yang digambarkan Lucky. Identitas sebagai elemen terpenting penyusun tata panggung yang digambarkan Lucky itu berbuah sebuah tragedi bagi pemiliknya dan mengakibatkan luka yang dalam.

Film berikutnya dari Edwin membuka kotak Pandora tentang etnis Cina, sekalipun Edwin bicara dalam bentuk gumaman yang sama sekali jauh dari tegas. Penyusun antologi ini melakukan spekulasi yang berani dengan memasukkan karya Edwin, A Trip to The Wound. Film yang pernah diputar sebagai film pendek sendirian ini, sebenarnya bercerita tentang sebuah luka personal dan khas (setiap luka pasti ada ceritanya). Namun dalam antologi ini, luka itu berubah menjadi luka kolektif.

Trip bekerja serupa dengan Huan karya Ifa, yaitu menginsinuasi salah satu dimensi paling kontroversial dari Peristiwa Mei 1998, yaitu dampak peristiwa kerusuhan Mei pada etnis Cina. Bahkan Trip lebih misterius karena tak ada cantolan fakta yang nyata-nyata diacu oleh Edwin sebagai peristiwa Mei 1998. Luka itu akhirnya harus diasosiasikan dengan luka akibat dari pemerkosaan masal pada Mei 1998, melalui pemilihan Ladya Cheryl sebagai pemain yang sedikit banyak mewakili etnis Cina dan rabaan ke balik roknya di dalam bus itu

Jika tokoh pada film Ifa takut membincangkan mengenai apa yang terjadi dan langsung bicara tentang eskapisme sebagai dasar diaspora-in-the-making, Edwin justru membahas soal paling sensitif: intrusi terhadap wilayah paling privat para perempuan etnis Cina pada saat kerusuhan –sebutlah: pemerkosaan. Trip mengindikasikan adanya dua sisi dari “peristiwa pemerkosaan” itu. Sisi pertama adalah luka yang terus dibawa berlari –seperti kata sebuah sajak Chairil Anwar–tapi bukan dengan cara berteriak, melainkan dengan keheningan yang cenderung senyap dan getir.

Luka itu berubah menjadi semacam obsesi untuk mencari sejarah luka, karena luka sang korban sendiri tak tampak (karena berada di wilayah paling privat?), tak teraba, tak terbuktikan. Apakah berarti luka itu tak ada?

Etnis Cina yang kerap dijadikan kambing hitam bagi segala keterbelakangan ekonomi Indonesia (termasuk penyebab krisis ekonomi menjelang krisis politik 1998). Ujungnya adalah perusakan toko-toko dan pemerkosaan terhadap perempuan etnis Cina pada 13-15 Mei 1998. Namun benarkan perkosaan itu terjadi? Inilah sisi kedua dari luka yang digambarkan oleh Trip. Dan dengan tepat Edwin menginsinuasinya. Adakah luka itu, dan bisakah dilihat tanpa –sekali lagi– mengintrusi wilayah privat para korban?

Ketika Trip diletakkan dalam kerangka 98.08, itulah yang terbaca. Sebuah dimensi yang sangat dalam terhadap salah satu persoalan bangsa ini yang belum selesai.

Masa depan

Luka yang digambarkan oleh Edwin itu bagai sebuah klimaks dari Antologi 98.08. Untuk menurunkan tensi, film berlanjut dengan menatap masa depan reformasi. Dari kacamata personal, tatapan itu hadir dalam film Wisnu SP yang biasa disapa Wisnu Kucing lewat Wisnu Kucing 9808, Catatan Seorang Demonstran. Wisnu adalah bekas seorang jendral lapangan dalam demonstrasi mahasiswa 1998. Ia berdiri di atas panggung, berpidato, dan berteriak retoris, “siap melawan tentara!?”

Sekalipun sama personalnya, tetapi posisi Wisnu berbeda sama sekali dengan Otty Widasari. Jika Otty melihat sejarah dibentuk oleh remeh temeh dan hal yang personal (bahkan kelewat personal), Wisnu berangkat dari sebuah cita-cita perubahan politik dan kemudian bicara tentang sesuatu yang lebih personal, lebih realistis. Jika dalam Kemarin, Otty tampak seperti orang duduk di masa kini dan melamunkan masa lalu, maka Wisnu masa kini merupakan gambaran dari masa depan Wisnu 10 tahun lalu.

Wisnu pada Mei 1998 digambarkan berpeluh dan menarik urat leher bersiap menghadapi tentara, sementara Wisnu di bulan yang sama sepuluh tahun kemudian mengganti popok bayinya di dalam mobil Volvo tuanya yang sedang menuju lokasi syuting tempat ia bekerja sebagai produser freelance media audio visual. Istrinya seorang anggota DPRD yang baru saja melahirkan dan Wisnu merasa bahwa ia masih memelihara semangat untuk membuat negeri ini menjadi tempat yang lebih baik bagi semua, terutama bagi anaknya yang masih bayi itu.

Alangkah menariknya ketika Wisnu menemukan serombongan mahasiswa berdemonstrasi. Sambil menggendong anaknya, ia berbincang dengan polisi yang mengawasi demonstrasi itu, bagaikan sedang berkata ‘sepuluh tahun lagi kalian akan seperti saya’. Wisnu dengan sikap been there done that, melihat mahasiswa-mahasiswa itu dan berkomentar agar mereka sebaiknya terus kuliah dan belajar saja. Toh, akhirnya mereka harus berhadapan dengan masalah kongkret seperti yang dihadapi dirinya: uang. Karena anak dan istri perlu makan, uang sekolah mahal, dan sebagainya.

Wisnu Kucing jadi gambaran sempurna siklus ‘revolusi berhenti di usia 30’ yang klise. Namun Wisnu adalah seorang yang jujur dalam memandang dirinya seperti itu. Karenanya, karya ini menjadi sebuah catatan yang kecil dan sederhana. Catatan kecil itu bukan merupakan pameran kekalahan, tapi semacam pengakuan yang rendah hati dan apa adanya.

Jika Wisnu kini adalah sebuah “masa depan” dari apa yang terjadi pada 10 tahun yang lalu, maka ada peluang untuk dikatakan bahwa reformasi tak menghasilkan apa-apa. Benarkah? Antologi ini nyaris saja membenarkan pernyataan itu, sampai muncullah karya terakhir dari Steve Pillar Setiabudi.

Pillar merekam sebuah proses demokrasi ketika sedang mencari bentuknya dalam Our School, Our Life. Sebuah sekolah di Solo, Jawa Tengah, merancang demonstrasi untuk menggulingkan kepala sekolah yang mereka anggap korup. Siswa SMU ini tampak bersemangat dengan data-data yang mereka punya.
Tiba-tiba reformasi dan perubahan politik –di mana Wisnu adalah salah satu tokohnya– seakan mendapat bentuk lewat penggambaran Pillar ini. Dengan penuturan sederhana, Pillar setia dengan muatan yang ingin disampaikan. Ia seakan menjadi seorang jurnalis TV yang sedang melakukan investigasi dan sedang melaporkan fakta kering tanpa niatan dramatisasi. Namun alih-alih menemukan fakta-fakta kering semata tentang korupsi di tingkat rendah, Pillar menemukan dimensi lain dari apa yang dicapai reformasi: penegakan cita-cita politik dan demokrasi yang penuh semangat dan determinasi. Pillar beruntung dengan pencatatan yang dilakukannya.

Kalaupun ada kekurangan dari pencatatan Pillar adalah ia tidak merekam kesaksian dari pihak-pihak yang dituduhkan. Namun kekurangan standar kerja jurnalistik itu tak membuat karyanya berkurang kekuatannya dalam membuat semacam refleksi persoalan tentang Peristiwa Mei 1998. Terutama implikasinya, yaitu bahwa kehidupan bersama yang lebih baik adalah sebuah proses yang sedang dibentuk bersama. Maka menyatakan bahwa gerakan reformasi 1998 tak berbuah apapun harus ditinjau lagi. Karena dari apa yang dimulai sepuluh tahun lalu, sudah tampak tunas yang akan tumbuh menjadi panen suatu saat kelak.

Tidak ada sesuatu yang baku dan bisa diterima begitu saja; proses itu adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. 98.08 sudah memulai perjuangan itu secara kecil-kecilan. Inilah muatan terkuat yang muncul dari dokumentasi Pillar ini ketika digabungkan dalam antologi ini.

Penutup

Sebagai sebuah pencatatan yang tidak ensiklopedis, Antologi 98.08 mungkin akan terasa dalam di satu dimensi tertentu tapi cetek dalam dimensi yang lain. Justru itulah kekuatan antologi ini. Dengan pencatatan-pencatatan yang personal dan terbatas macam ini, maka bermunculanlah hal-hal yang mungkin tak terbayangkan muncul apabila karya ini berkeinginan untuk mencapai pencatatan ensikolpedis. Risiko menjadi kelewat personal, sketchy dan sebagainya, mungkin tak terhindarkan, tetapi itulah biaya yang memang perlu untuk menjadi jujur dan menyajikan persoalan dari kacamata yang memang terjangkau oleh para pembuat film dan produser dalam proyek ini.

Jika kemudian film ini lebih banyak menampilkan persoalan etnis Cina di dalamnya, hal ini bisa jadi karena banyaknya pembuat film yang berasal dari etnis tersebut. Tapi bukan alasan karena Ifa yang anak Jogja juga membuat film tentang etnis Cina dan diaspora mereka. Dengan melihat pada topik yang diangkat dalam film ini, sejarah dan identitas etnis Cina dan kaitannya dengan pembentukan bangsa dan kepolitikan negeri ini merupakan sebuah agenda besar yang jauh dari selesai. Maka seharusnya representasi dari etnis Cina dalam antologi ini dipandang sebagai pembicaraan terhadap agenda-agenda yang mengonstitusi bangsa ini.

Maka pencatatan yang dilakukan oleh generasi pelaku dalam 98.08, Antologi 10 Tahun Reformasi iniseharusnya dipandang sebagai sebuah jalan untuk memulai kembali perbincangan tentang bangsa ini: identitas, sejarah, dan peristiwa-peristiwa pembentuknya. Dengan tidak melupakan peristiwa besar itu saja perbincangan ulang itu bisa dilakukan. ***

98.08, Antologi 10 Tahun Reformasi . Di Mana Saya? (Anggun Priambodo), Yang Belum Usai (Ucu Agustin), Huan Chen Guang (Ifa Ifansyah), Kemarin (Otty Widasari), Sugiharti Halim (Ariani Darmawan), Bertemu Jen (Hafiz), A Letter of Unprotected Memories (Lucky Kuswandi), A Trip to The Wound (Edwin), Kucing 9808, Catatan Seorang Demonstran (Wisnu SP), Our School, Our Life (Steve Pillar Setiabudi).

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: