• Saya menonton film Indonesia Calling di LIP / CCF Yogyakarta tanggal 11 Desember 2010 dalam rangka Festival Film Dokumenter 2010 Yogyakarta. Sebelum dan sesudah pemutaran, ada diskusi yang dihadiri oleh Elisabeth Inandiak, seorang Prancis yang pernah bekerjasama dengan sutradara film ini, Joris Ivens, dalam film terakhirnya, A Tale of The Wind. Ada beberapa penjelasan Inandiak yang menjadi tambahan dalam pemahaman saya terhadap film  ini. Nanti akan saya singgung.
  • Durasi film ini 22 menit, hitam putih, diproduksi tahun 1946. Film ini tidak sepenuhnya merupakan film dokumenter. Banyak sekali adegan yang direkonstruksi ulang dengan teknik dan editing yang sangat menyerupai film fiksi Hollywood. Elisabeth Inandiak memberi informasi: Joris Ivens pernah bekerja di Hollywood sebelum membuat film ini. Ia juga sangat terpengaruh oleh Fritz Lang, kata Inandiak.
  • Informasi Inandiak lagi: film ini dibuat oleh Joris Ivens dalam perjalanannya dari Belanda ke Indonesia. Ia baru mendapat jabatan sebagai komisioner kebudayaan di Negeri bekas koloni itu. Ia naik kapal ke Indonesia, dan singgah di Australia. Di Australia, Ivens melihat sesuatu yang mengagumkan baginya: koloni Belanda itu sudah menjadi Negara merdeka. Para buruh pelabuhan di Australia sedang melakukan pemogokan, menolak mengangkut senjata dari dari pelabuhan di Australia.
  • Ivens, yang menurut Inandiak adalah seorang penyair yang bersemangat, mendapatkan semacam epifani bahwa apa yang akan dijalaninya di bekas koloni Belanda itu keliru sama sekali. Ia merasa bahwa bangsa yang baru merdeka ini perlu diberi dukungan. Maka ia memutuskan untuk membuat film tentang pemogokan itu. Ivens sebenarnya tak punya dana yang cukup untuk pembuatannya. Serikat buruh pelabuhan tahu rencana Ivens dan akhirnya mereka membantu pendanaan film tersebut.
  • Menurut sutradara film dokumenter Australia, David Bradbury, yang menonton film itu bersama saya, sumbangan dari serikat buruh kapal ini luar biasa mengingat mereka bukanlah organisasi yang kaya. Mereka harus mengumpulkan uang dari anggotanya untuk sekadar bertahan hidup. Maka keterlibatan mereka dalam mendanai film ini menunjukkan kesungguhan dukungan mereka terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia.
  • Gambaran dukungan ini menjadi istimewa bagi saya karena banyak hal. Saya bahas satu persatu:
    • Pertama, dengan tegas film ini menggambarkan bahwa gerakan kemedekaan Indonesia dalam beberapa tahun pertama sesudah 1945 ternyata bersifat transnasional, kalau tidak sepenuhnya kosmopolitan. Hal ini bertentangan sekali dengan pendakuan TNI (waktu itu ABRI) melalui rekonstruksi sejarah mereka lewat museum, buku sejarah dan film (seperti Janur Kuning, Mereka Kembali, Serangan Fajar dan banyak lagi) bahwa merekalah (nyaris) satu-satunya kekuatan yang tegak berdiri melawan agresi Belanda yang menumpang pada pasukan sekutu;
    • Kedua, dengan jelas pula film ini menggambarkan bahwa serikat buruh yang mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia terdiri dari berbagai kelompok serikat buruh berbagai bangsa dan tak hanya Australia. Beberapa serikat buruh pelabuhan (dan awak kapal) berkebangsaan Eropa, Cina dan India ikut serta mendukung gerakan boikot yang diserukan oleh para pekerja Indonesia di Australia saat itu. Serikat buruh kapal Australia yang mempeloporinya, memang. Film ini menyatakan bahwa bahan kampanye yang digunakan oleh pekerja Indonesia di Australia dalam membujuk berbagai serikat buruh ini adalah penindasan dari kaum majikan Belanda terhadap buruh di Indonesia. Mereka mengajukan gagasan pertentangan kelas ketimbang semata gagasan kemerdekaan bangsa. Lagi-lagi ini tentangan terhadap persepsi umum yang coba dikembangkan bahwa gerakan kiri hanya bersifat negatif belaka terhadap kemerdekaan Indonesia. Film ini menggambarkan dengan jelas bahwa mereka turut serta melakukan gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia;
    • Ketiga, kalau memang misalnya para pekerja Indonesia di Australia ini adalah orang-orang dari “sayap kiri” pergerakan Indonesia, maka penggambaran mereka dalam Indonesia Calling sangat menarik. Dalam sebuah rapat massa yang dilakukan oleh para pekerja di Indonesia ini, mereka mendengar berita tentang kemerdekaan dan berkumpul menyatakan tekad akan memperjuangakan kemerdekaan Indonesia. Di ujung tekad mereka melakukan sumpah bersama dipimpin oleh seorang Indonesia berjas dan dasi (nyaris semua orang Indonesia dalam film ini berjas dan berdasi). Bunyi sumpah itu: “Demi nama Allah, kita akan menegakkan kebenaran.” Yang juga menarik dari sumpah itu adalah pengucapan ‘Allah’ yang cenderung ‘alah’ (seperti orang Kristen Indonesia mengucapkannya) ketimbang ‘aloh’ (yang biasa diucapkan oleh orang Islam Indonesia). Dibaca sekarang, informasi kecil ini bisa jadi semacam kekeliruan fakta saja, tapi bisa juga simplifikasi dari “sifat relijius orang Indonesia” tanpa membedakan apakah mereka Muslim atau Kristen. Jika dibaca lebih lanjut, tentu hal ini penting mengingat kecenderungan untuk memisahkan jauh-jauh “gerakan kiri” dengan “Muslim” dalam wacana kepolitikan Orde Baru juga pada wacana kaum Muslim moderat serta konservatif. Kontestasi wacana tentang peran mereka juga begitu sengit seperti digambarkan dalam film Para Perintis Kemerdekaan (Asrul Sani, 1982), misalnya. Film ini melakukan simplifikasi bahwa religiusitas bisa berdampingan dengan gerakan buruh sosialis dan gagasan kemerdekaan yang cenderung nasionalistis, untuk kasus Indonesia. Kelahiran Indonesia menjadi sangat kosmopolitan di film ini. Bisa jadi hal ini terjadi simplifikasi dari Ivens sendiri terhadap fakta-fakta yang ditemuinya sepanjang film ini, tetapi bisa jadi juga apa yang direkam oleh Ivens tersebut mencerminkan kekuatan yang memang ada pada masa itu, yang oleh kepolitikan Indonesia belakangan justru dipecah-pecah dan difragmentasi demi kepentingan pengendalian;
    • Keempat, sifat kosmopolitan Indonesia tampak menonjol juga pada gambaran gaya hidup orang Indonesia di Australia dalam film itu. Mereka mementaskan wayang orang. Dalam pementasan itu, tampak dua orang penari, keduanya lelaki tetapi salah satu memerankan tokoh perempuan. Dalam “tarian yang usianya sudah lebih dari 1.500 tahun ini” (kutipan dari narrator di film ini) digambarkan bahwa Indonesia punya tradisi kewiraan yang tinggi dengan sebuah landasan pra-modern. Namun dalam bagian lain film ini, orang-orang Indonesia tampil di sebuah panggung memainkan musik Hawaiian yang dikonotasikan sebagai musik asli Indonesia. Lagi-lagi tampaknya hal ini merupakan simplifikasi, tapi gambaran ini mirip belaka dengan gambaran film-film “Indonesia” pada periode tak lama sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia, terutama seperti yang dibuat oleh para pembuat film etnis Cina (lihat pembahasan rinci mengenai hal ini di tulisan Charlotte Setijadi-Dunn dan Thomas Barker, “Membayangkan ‘Indonesia’: Produser Etnis Tionghoa dan Sinema Pra-Kemerdekaan” dalam buku Mau Dibawa kemana Sinema Kita? 2010). Gambaran Ivens ini seperti menegaskan tesis Dunn dan Barker bahwa proses pembentukan identitas Indonesia di awal kelahiran Negara ini terbantu pembentukannya oleh gambaran yang sangat kosmpolitan tersebut.
  • Entah seperti apa distribusi film ini di Eropa pada saat itu, tapi film ini bisa jadi merupakan film paling awal yang merekam gagasan mengenai “gerakan kemerdekaan” pasca Perang Dunia Kedua. Indonesia adalah salah satu Negara selain Aljazair yang merebut kemerdekaan melalui perlawanan, baik bersenjata maupun diplomatis. Jangan-jangan film ini yang justru memperkenalkan gagasan “gerakan kemerdekaan” Indonesia itu ke berbagai Negara dan bukan dari alat propaganda domestik yang banyak ditulis oleh buku sejarah kita.
  • Sisi menarik dari film ini adalah posisi Joris Ivens sendiri. Ia kemudian menjadi seorang yang ditolak untuk kembali ke negerinya, Belanda, karena pembuatan film ini. Paspornya dicabut dan Ivens hidup sebagai seorang eksil di berbagai Negara di Eropa. Ironisnya, Ivens sendiri ditolak untuk masuk ke Indonesia lantaran dianggap sebagai seorang komunis, sesuatu yang menjadi semacam dosa tak terampunkan dalam politik Indonesia masa Orde Baru.
  • Menurut Inandiak, tak benar Ivens seorang komunis. Menurutnya, Ivens memang seorang aktivis politik yang kebanyakan pandangan politiknya kekiri-kirian, tetapi ia bukan sama sekali bukan seorang komunis. Ia jelas anti fasis karena Iven juga membuat sebuah film mengenai perang Spanyol (dengan dibantu penulisan naskahnya oleh Ernest Hemingway, sastrawan Amerika yang terkenal itu). Menurut Inandiak, seperti sudah saya sebutkan di atas tadi, sebelum menjadi seorang pembuat film Ivens adalah seorang penyair, dan inilah yang mempengaruhi estetika Ivens.
  • Jika Ivens seorang penyair, dalam bayangan saya ia bisa jadi seorang romantis yang pandai melakukan dramatisasi terhadap peristiwa keseharian secara berlebihan. Konstruksi Indonesia Calling memperlihatkan bagaimana ia meromantisir perjuangan kemerdekaan dengan menggunakan lagu-lagu mars sejak awal untuk memberi penekanan pada aspek patriotik pergerakan kemerdekaan itu.
  • Pendekatan patriotik Indonesia Calling menempatkannya sebagai sebuah film propaganda yang telanjang. Hal ini terus terang saja mengejutkan bagi saya mengingat Ivens adalah seorang Belanda yang belum punya keterikatan apapun terhadap Indonesia sebelumnya. Bagaimana ia bisa mengambil pendekatan seperti itu pada sebuah gerakan pemogokan yang justru menempatkan dirinya dalam posisi sulit? Elisabeth Inandiak menjelaskan bahwa pendekatan seperti itu dipakai oleh Ivens dimana-mana (sayang saya belum melihat film Ivens yang lain), terutama untuk menekankan pembelaannya terhadap orang-orang yang dianggapnya tertindas. Agak seperti kenaifan menurut saya, maka saya menyebut Ivens romantis, tapi menurut Inandiak, demikianlah posisi politik Joris Ivens yang membuatnya terus menjadi seorang eksil bagi negerinya, sampai akhirnya beberapa tahun sebelum wafatnya, Pemerintah Belanda mengakui kesalahan mereka terhadap Ivens dan meminta maaf serta merehabilitasi sepenuhnya hak Joris Ivens sebagai warga Negara. Bahkan kini ia dianggap sebagai salah satu filmmaker paling penting dalam sejarah sinema Belanda.

One response to “Indonesia Calling dan Mengapa Film ini Penting”

  1. […] This post was mentioned on Twitter by Kuntz Agus, eric sasono. eric sasono said: Indonesia Calling karya Joris Ivens dan mengapa film ini penting. Sebuah catatan pengalaman menonton: http://bit.ly/ePiJ2l […]

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: